Part 15 - Embracing Happiness

66 5 0
                                    

Jack Hanson tertegun. Saat di dalam taksi tadi dia sudah menyiapkan mental. Dia mengira Amber akan menamparnya, memakinya, dan mungkin akan mencakar wajahnya -- seperti yang dilakukan Wanda ketika dia menyerahkan surat cerai semalam. Apapun itu, dia akan menerimanya dengan sukarela. Tapi demi segala hal luar biasa yang ada di dunia ini, apa yang Amber katakan sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya.

Memorinya melompat ke bertahun-tahun silam ketika dokter memberitahunya bahwa anak yang dilahirkan Dierdre adalah perempuan. Bagai petir di siang bolong, saat itu dia benar-benar kecewa. Dia bahkan tidak mau menggendong bayi mungil tak berdosa itu. Beberapa kali kemudian dia dan Dierdre berusaha untuk memiliki anak lagi, tapi tampaknya kesialannya terus berlanjut. Rahim Dierdre harus diangkat. Hidupnya hancur. Bayangan memiliki anak laki-laki yang akan dapat melanjutkan bisnisnya musnah sudah. Dia bahkan tak ingin memberi nama kepada bayi perempuannya. Dokter lah yang justru memberi nama Amber karena saat dia lahir, langit sedang berwarna kuning keemasan.

Sejak itu dia semakin menenggelamkan dirinya ke pekerjaan. Apa pun usaha Deirdre dan Amber untuk mendapatkan perhatiannya sama sekali tak dihiraukannya. Hingga suatu ketika dia bertemu dengan Wanda di sebuah bar saat dia sedang pergi minum. Entah karena terlalu mabuk, keesokan harinya dia bangun di apartemen Wanda. Dan karena dia telah dibutakan perasaan benci pada keluarga kecilnya, dia semakin tenggelam masuk ke dalam perangkap Wanda. Dia tahu ada yang salah dengan Wanda, tapi dia tidak tahu apa. Yang dia tahu adalah dia ingin segera melepaskan Dierdre dan Amber. Dengan iming-iming USG Wanda yang menunjukkan dia tengah mengandung anak laki-lakinya, dia menceraikan Dierdre dan mendepaknya keluar dari rumahnya bersama dengan Amber.

Hanya beberapa bulan setelah anak laki-lakinya lahir, dia melihat ada yang salah. Tak ada satupun di dirinya yang ada pada bayi itu, tapi kebahagiaan memperoleh anak laki-laki mengubur instingnya. Hingga sampai Howard berumur 5 tahun, Jack meminta dokter melakukan tes DNA tanpa sepengetahuan Wanda. Dia juga menyewa detektif swasta untuk menyelidiki Wanda. Dan ternyata, kebenaran menghantamnya dengan begitu keras. Howard bukan anaknya. Sebelum bertemu dengannya, Wanda telah hamil beberapa minggu tapi dia tidak tahu siapa ayah bayinya. Wanda terbiasa tidur dengan banyak pria yang dia temui dan berhubungan seks tanpa pengaman. Ayah dari anak pertamanya pun dia tidak tahu siapa. Dia menargetkan Jack karena dia tahu siapa Jack Hanson. Dia jelas ingin jaminan hidup tenang untuk dirinya dan anak-anaknya.

Sejak dia mengetahui bahwa istrinya telah menipunya habis-habisan, Jack menyesali segala perbuatannya kepada Dierdre dan Amber. Betapa dia menyesal telah menceraikan wanita terbaik yang pernah mencintainya dan meninggalkannya demi ular berbisa seperti Wanda. Bertahun-tahun dia mencari Amber tapi tak pernah berhasil menemukannya. Dia ingat telah memperlakukan Amber seperti sampah saat gadis itu datang untuk memberitahukan bahwa Dierdre telah meninggal. Jack menangis meraung-raung di makam Dierdre selama berhari-hari. Dia menyewa detektif untuk menemukan Amber tapi entah kenapa usaha itu tidak berhasil. Detektifnya tak bisa menemukan Amber.

Setiap malam dia berdoa agar Tuhan menjaga Amber dimana pun anak gadisnya berada. Dia ingin diberi kesempatan untuk bertemu dengannya dan menebus segala kesalahannya. Bahkan jika Amber menikamnya dengan pisau pun, dia akan bahagia. Karena meskipun darahnya habis hingga tetes terakhir, tetap tidak akan cukup untuk menebus segala dosa yang dia perbuat kepada Dierdre dan Amber.

Namun sekarang, ketika Amber duduk di hadapannya dengan wajah cantiknya yang luar biasa -- dia bahkan malu mengaku sebagai ayah Amber -- tanpa amarah sama sekali, dan bahkan memintanya melakukan sesuatu yang tentu saja diinginkan oleh semua ayah di dunia ini, dia bertanya-tanya apakah dia pantas mengantarkan anak perempuan yang telah ditelantarkannya selama bertahun-tahun berjalan di altar?

"Dad..." Panggil Amber pelan. "If you won't..."

"I would!" Jawab Jack cepat sambil meraih tangan Amber. "Of course I would!" Genggaman Jack mengerat. "For one moment I went back to the day when I treated you like trash..."

"Dad, please..." Amber menyela dengan cepat. "I wanted to hate you, I really did, but somehow I couldn't. Dari dulu hingga sekarang ternyata aku tak sanggup membencimu. Aku marah dan kecewa, tapi aku tak mampu membencimu." Air mata mulai menetes di pipi Amber, Jack pun mulai menangis. Bahunya berguncang hebat.

"Kau anak baik...sama seperti ibumu. Bahkan terlalu baik. Aku tak pantas memiliki kalian..." Kata Jack di sela tangisnya. "I was so stupid!"

"Dad..." Amber menangkup tangan ayahnya.

"But not anymore, aku tidak mau terus bodoh sampai mati. Katakan apa yang harus aku lakukan, mintalah apa yang ingin kau minta, aku akan mengabulkan semuanya Amber. Bahkan jika kau meminta bulan, aku akan berusaha mengambilnya untukmu." Tangan Jack menangkup wajah putrinya. "My beautiful daughter...I'm so sorry for everything."

Mereka pun berpelukan dan menangis bersama, mengabaikan meja kecil yang ada di tengah mereka dan pandangan mata orang-orang yang memandang mereka dengan heran.

***

"Masuklah, dad..." Amber mempersilahkan ayahnya masuk ke apartemen Gavin.

Setelah drama di bandara, termasuk perdebatan kecil tentang dimana Jack akan tinggal hingga hari pernikahan, Amber akhirnya berhasil meyakinkan ayahnya untuk tinggal di apartemen Gavin -- dengan seijin Gavin tentunya. Dia mengantarkan Jack ke kamar yang sempat ditempatinya waktu pertama kali datang ke apartemen ini. Jack melihat ke sekeliling dan memeluk Amber untuk kesekian kali sambil mengucap syukur.

"Mommyyyyyy! Where are you?" Suara Hazel memecah keheningan diantara mereka.

Kaki kecil itu berlarian mencari Amber hingga akhirnya berhenti di depan pintu kamar tamu. Gavin menyusul dibelakangnya, namun dia memilih duduk di ruang tamu.

"You're the bad guy!" Katanya dingin sambil memicingkan mata.

Jack tertegun kemudian tersenyum, menghampiri Hazel, dan berjongkok. "Yes, I was the bad guy, but now I'm not." Jawabnya menekankan kata 'was' (dulu).

"How?" Tanya Hazel.

"Honey!" Panggil Amber tegas, kemudian berjalan menghampiri Hazel. "Say hi to Pops."

"But he made you cry!" Protes Hazel, enggan memanggil orang yang membuat Amber menangis dengan sebutan 'kakek'.

"No, he didn't. I cried because I was sad, yes. But it's because I missed him so badly." Amber berusaha membuat Hazel melunak agar bisa menerima ayahnya.

"Why?"

"Because we haven't met for too long." Jawab Jack, masih dengan senyuman. "But you are brave, you will protect her, won't you?"

"Yes! I will kick bad guys who make mommy cry!" Jawab Hazel sembari mempraktekkan tendangan yang lucu. Amber, Gavin dan Jack tertawa.

"Can we be friends now?" Tanya Jack sambil menyodorkan kelingkingnya.

Hazel awalnya ragu dan melihat ke arah Amber. Amber memberi anggukan dan senyuman. Akhirnya Hazel mengaitkan kelingking mungilnya ke kelingking besar Jack sambil mengangguk dan tersenyum. Kemudian Jack membuka lebar tangannya dan Hazel pun menghambur ke pelukan Jack. Melihat itu, Amber kembali meneteskan air mata.

Victoria benar, satu demi satu kebahagiaan masuk ke dalam hidupnya ketika dia melihat hidupnya dari sudut pandang yang berbeda. Dan Gavin pun benar, dia berhak bahagia. Mulai sekarang dia tidak akan membiarkan siapa pun merusak kebahagiaannya. Termasuk caranya melihat dirinya sendiri.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 17, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Embracing Happiness (On Going)Where stories live. Discover now