Part 10 - Together, For The Future

67 7 0
                                    

Setelah makan siang, mereka melanjutkan belanja -- yang diikuti Amber dengan malas-malasan. Victoria sampai beberapa kali menarik tangan Amber dengan paksa agar wanita muda itu bersedia mengikutinya. Gavin hanya tersenyum dan setia mengikuti dari belakang. Di setiap toko yang mereka masuki, dia hanya bertugas mengeluarkan kartu kredit dan meminta supaya barang-barang dikirimkan ke apartemennya agar mereka bisa melanjutkan belanja dengan leluasa. Setelah dirasa cukup, Gavin mengajak Amber dan Victoria mampir ke toko mainan untuk membelikan Hazel sebuah Teddy Bear. Dan itu pertama kalinya Gavin melihat mata Amber berbinar ketika melihat tidak hanya mainan, tapi juga pakaian anak yang lucu-lucu. Gavin tertawa dan mengatakan bahwa Amber boleh mengambil apa pun untuk Hazel.

"Really? I can get anything?" tanya Amber terlihat bahagia saat menekankan kata 'anything'.

"Anything." ulang Gavin dengan senyuman menghiasi wajah tampannya.

Amber langsung menarik tangan Victoria untuk menemaninya memilih pakaian anak. Victoria dan Gavin tertawa melihat tingkah Amber yang berbeda ketika dia diminta berbelanja untuk Hazel. Ternyata Amber tetaplah seorang wanita yang akan menggila ketika berbelanja, meskipun yang dibeli bukan keperluannya sendiri. Dada Gavin menghangat. Dia tidak menyangka Amber akan begitu mencintai putrinya. Dan Amber tidak salah mengira bahwa Hazel adalah Ruby. Amber benar-benar sadar bahwa putrinya telah tiada dan dia menghadapi Hazel. Semua yang dipilih Amber adalah pakaian untuk anak berumur 4 tahun. Bahkan dia bersikeras membeli sebuah dress cantik berwarna biru pastel untuk anak usia 5 tahun dengan alasan toh sebentar lagi Hazel akan berumur 5 tahun.

Akhirnya Gavin tahu apa yang harus dilakukannya jika dia ingin Amber menerima kartu kredit yang akan diberikannya pada wanita itu. Dia tidak pernah ingin memanfaatkan anaknya dalam hal apa pun tapi sepertinya kali ini dia akan melakukannya dengan senang hati. Toh tidak akan ada yang dirugikan. Dia akan meminta Amber membeli pakaian atau mainan untuk Hazel dengan syarat dia juga harus berbelanja untuk dirinya sendiri. Gavin tersenyum senang dengan idenya itu.

Setelah selesai belanja di toko mainan -- Amber benar-benar kalap -- Victoria mengatakan bahwa dia yang akan menjemput Hazel dari daycare dan mengajaknya menginap dirumahnya karena dia merindukan cucunya itu. Gavin tahu maksud tersembunyi dari kata-kata Victoria. It's now or never. Dia harus berhasil meyakinkan Amber untuk menikah dengannya hari ini juga.

Selama perjalanan pulang, senyum tak berhenti menghiasi wajah Amber. Ketika masih berada di toko mainan, saat Amber sedang kalap memilih pakaian dan mainan untuk Hazel, Gavin melihat ada sebuah patung keramik berbentuk malaikat kecil yang cantik. Ada tempat kosong untuk sebuah tulisan dibawah kaki malaikat itu. Gavin bertanya apakah dia bisa meminta toko untuk membuat tulisan dan mereka mengatakan bahwa hanya perlu beberapa menit saja. Kemudian Gavin meminta toko untuk menuliskan nama 'Ruby' dibawah malaikat kecil itu. Patung inilah yang membuat Amber terus tersenyum di dalam mobil.

Sesampainya di apartemen, hari sudah menjelang malam. Mereka sudah sekalian makan malam di sebuah restoran, jadi Gavin dan Amber hanya perlu membersihkan diri dan istirahat. Gavin tahu Amber kelelahan. Tapi dia harus bisa mengungkapkan isi hatinya lagi kepada Amber dan meyakinkannya untuk menikah malam ini. Tiba ruang keluarga, Amber mengucapkan terima kasih untuk patung keramik itu untuk kesekian kalinya dan melangkah menuju kamarnya.

Selama mandi, Gavin sibuk memikirkan kata-kata yang sempurna untuk melamar. Dia tidak pernah segugup dan sebingung ini. Sewaktu melamar Aurora, bisa dibilang dia hanya mengikuti alur. Dia tidak menyiapkan lamaran khusus saat makan malam atau hal-hal romantis lainnya. Bahkan dia melamar Aurora di rumah sakit, saat dirinya dirawat setelah memakan steak yang ternyata dimasak dengan anggur merah. Itupun keluar dengan begitu mudah tanpa ada getaran-getaran aneh yang membuatnya gugup. Harus diakuinya, dirinya kagum pada Aurora ketika wanita itu tanpa ragu memasukkan jarinya kedalam mulut Gavin agar dia bisa muntah begitu sadar bahwa Gavin tidak bisa mentolerir alkohol.

Jadi saat ini dia merasa seperti anak umur 17 tahun yang berusaha mengajak kencan gadis yang disukainya. Padahal dia tidak pernah mengajak kencan siapa pun. Pergi ke pesta prom pun dia dipaksa ibunya dan justru datang dengan Shawn sebagai bentuk protes. Gavin menyelesaikan mandinya, mengeringkan badan dan berpakaian. Dahinya berkerut memikirkan kata-kata lamaran yang sampai sekarang belum ditemukannya. Dengan menggeram kesal, Gavin melangkahkan kakinya ke kamar Amber dan mengetuk pelan.

"Hey...what's up?" tanya Amber begitu dia membuka pintu.

"Can we talk?" tanya Gavin tanpa basa-basi sambil menunjuk ruang keluarga. Sepertinya dia harus belajar berbasa-basi sedikit nanti.

"Sure..." jawab Amber dan melangkah mengikuti Gavin menuju ruang keluarga.

Setelah mereka duduk, Gavin berdehem.

"Amber...aku tidak suka berbicara panjang lebar tapi aku ingin mengatakan sesuatu padamu dengan jelas, jadi kumohon dengarkan dan resapi dengan baik karena aku tidak akan mengulanginya. Selama ini aku tidak pernah merasakan apa pun kepada wanita. Jujur harus aku akui, aku bahkan tidak menyukai Aurora saat pertama melihatnya. Dia berjuang selama 4 tahun untuk membuatku jatuh cinta, dan akhirnya aku melamarnya di rumah sakit ketika aku sedang dirawat. Sungguh tidak adil rasanya memikirkan kembali bahwa aku melamarnya mungkin karena merasa itu adalah hal yang benar dan wajar, bukan karena aku jatuh cinta padanya. Setelah dia meninggal pun, aku tidak pernah berpikir untuk mencari gantinya. Bahkan aku tidak berusaha sama sekali.

"Tapi saat melihatmu terduduk di lantai rumah sakit kemarin, untuk pertama kalinya aku terpesona. Aku sadar aku jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu. Caramu memandang Hazel dan mencoba tersenyum padahal kau sedang hancur, menjawab semua pertanyaan Hazel dengan sabar, bahkan kau menenangkannya saat dia merengek. Aku tidak pernah merasa seberdebar ini saat melihat seorang wanita. Rambutmu, matamu, hidungmu, semua langsung memenuhi pikiranku. Aku bukan orang yang dengan mudah memulai percakapan, tapi entah kenapa denganmu aku berbeda. Aku ingin menjagamu, aku ingin memelukmu, aku ingin menciummu, dan segala fantasi liar lainnya.

"Hazel memang penah menanyakan tentang ibunya, tapi aku selalu bisa mengalihkan perhatiannya dan entah kenapa dia seperti memahami apa yang terjadi. Dia juga tidak pernah bertingkah aneh ketika bertemu dengan wanita dewasa. Perlu kau ketahui, karakter Hazel sama persis denganku. Victoria pernah bilang bahwa Aurora adalah mesin fotokopi, diriku dicetak sama persis dengan hasilnya karena tidak ada satupun dalam diri Hazel yang mirip dengan Aurora selain fakta bahwa dia anak perempuan. Jadi wajar jika kami sama-sama jatuh cinta pada wanita yang sama.

"Maka dari itu Amber, aku tidak akan bertanya padamu apakah kau bersedia menikah denganku karena aku tahu kau akan sibuk menolak. Aku memintamu untuk menikah denganku. Mari kita memulai hidup ini bersama, demi masa depan kita dan anak-anak kita kelak."

Gavin menyelesaikan kalimatnya yang panjang sambil menyodorkan kotak biru itu. Dia mengambil cincin yang ada didalamnya dan memakaikannya ke jari manis Amber.

***

Amber meneteskan air mata. Cincin itu indah sekali. Sederhana tapi memiliki ukiran rumit, sempurna menggambarkan karakter dan hidupnya. Setelah menenangkan diri, Amber menghembuskan nafasnya dan memandang Gavin.

"Gavin...Victoria memintaku untuk melihat keadaan ini dengan sudut pandang yang berbeda. Dan dia benar, jika aku membalikkan semua kejadian negatif menjadi positif, maka seharusnya aku bersyukur. Kehilangan Ruby membawa Hazel padaku. Dia menenangkanku, dan tiba-tiba aku sadar aku membutuhkan Hazel dalam hidupku. Duduk bersamamu, aku merasa hangat dan kau membuatku ingin berlindung padamu. Kau membuatku berani berharap lagi. Aku sudah memutuskan, bahwa kali ini aku pun berhak bahagia. Seperti katamu, aku ingin membuat kenangan baru. Seandainya ini semua adalah mimpi, maka biarlah. Aku akan menikmatinya. Setidaknya aku akan memiliki kenangan indah untuk terus maju. Jadi tolong ajari aku untuk bahagia. Ajari aku untuk percaya pada keajaiban." suara Amber bergetar dan matanya kembali meneteskan air mata.

Gavin maju mendekat dan merengkuh Amber dalam pelukannya. Kemudian bibirnya menemukan bibir Amber. Perlahan diciumnya bibir mungil itu pelan, kemudian semakin cepat dan semakin menuntut. Amber membalas ciuman itu. Dia akan belajar untuk menjadi egois. Dia ingin bahagia. Dia akan menikmati waktunya bersama dengan Gavin tanpa memikirkan apa pun. Dia akan menikmati kasih sayang Gavin untuknya. Kemudian Amber menarik tangan Gavin menuju kamarnya, namun Gavin justru membopongnya dan membawanya menuju kamar Gavin. Oh bukan...kamar mereka. Itu yang dikatakan Gavin, bukan?

***

Embracing Happiness (On Going)Where stories live. Discover now