Part 9 - Mother's Love

66 7 0
                                    

Amber mengikuti arah suara yang memanggil nama Gavin. Seorang wanita tengah baya berjalan mendekat. Jalannya anggun dan pakaiannya mahal, jelas wanita ini dari kalangan elit kota New York. Wajahnya ramah dan enak dilihat, masih cantik untuk wanita seusianya, dan terlihat bahagia bertemu Gavin. Diam-diam Amber melirik Gavin. Pria itu tersenyum lembut tapi sedikit salah tingkah. Siapa wanita ini?

"Oh...my...God! It's been ages since the last time we met! You are so mean!" wanita itu memeluk Gavin dan mencium pipinya dengan penuh kasih sayang.

"Hello, Victoria, how have you been?" tanya Gavin salah tingkah.

"Alive, if that's what you mean." Kemudian mata wanita bernama Victoria itu melirik Amber dan dengan sedikit pandangan menyelidik dia bertanya, "And you are...?"

"Amber, this is Victoria Quinn, my mother-in-law. And Victoria, this is Amber Hanson...my future wife." Gavin memandang Amber dengan lembut dan penuh cinta.

Amber tersentuh. Gavin memperkenalkannya sebagai calon istrinya. Matanya sedikit berkaca-kaca tapi hatinya sedikit berdebar. Wanita ini adalah ibu mertua Gavin. Amber bersiap-siap menerima penolakan atau cibiran untuk kesekian kalinya. Dia sudah terlatih, bukan? Amber mengalihkan pandangannya pada Victoria. Diluar dugaannya, Victoria memeluknya erat sekali.

"Oh my God...thank you!!! Akhirnya ada wanita yang berhasil mengisi hatinya!" Victoria menangkup wajah Amber dan memandangnya dengan penuh kasih sayang. "Kau luar biasa sayang...terima kasih." mata Victoria berkaca-kaca.

Amber yang tidak siap akan reaksi Victoria hanya bisa diam dengan mulut menganga.

"We have to eat lunch together. There are sooooo many things we need to talk about! Especially you, young man! Are you done here?" tanya Victoria pada mereka berdua.

"Uummm...no, kami bahkan baru akan mulai. Amber doesn't have anything to wear and Cory is about to hook her up." jawab Gavin.

"What?! Then you need all the help you can get. Come, honey, let's do this quickly and then we go lunch. And you, mister, sit down over there." kata Victoria menunjuk sofa yang berada agak di tengah ruangan sedang tangannya menarik Amber lembut.

Gavin tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya pada Amber kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga. Amber hanya mengikuti Victoria dan Cory sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling butik. Pakaiannya indah-indah dan sudah pasti terbuat dari bahan yang berkualitas, membuat matanya sedikit basah. Sebenarnya jika dulu ayahnya memanjakannya, dia bisa saja membeli pakaian di toko seperti ini meskipun hanya sebulan sekali. Sadar bahwa Amber berjalan terlalu pelan, Victoria kembali menarik lengannya agar mengikuti langkah dua wanita yang bersemangat itu.

"Tell me, Amber. When did you meet Gavin?" tanya Victoria menyelidik tapi tidak ada nada meremehkan dalam suaranya.

"Uummm...we just met yesterday, actually." jawab Amber ragu dan pelan, membuat Victoria menoleh dengan cepat. Kemudian dia mengatakan sesuatu kepada Cory dan mengajak Amber duduk di sofa yang agak tertutup rak pakaian, jauh dari Gavin.

"Here, let's sit here and tell me everything about you." ajak Victoria.

Kemudian Amber kembali berusaha menceritakan dengan cepat dan ringkas kisah hidupnya yang menyakitkan. Dia siap jika Victoria memintanya untuk menjauhi Gavin, atau mengatakan jika dia hanya mengambil keuntungan dari Gavin, dan sebagainya. Tapi sekali lagi Amber terkejut. Victoria menangis, kemudian memeluknya.

"Aku juga kehilangan anak perempuan satu-satunya, aku tahu pasti perasaanmu. Aurora, istri Gavin, meninggal setelah melahirkan Hazel. Did you see this, Amber? Tuhan mengirimmu untuk menjadi ibu Hazel. Tidakkah kau lihat situasi ini dari sudut pandang yang berbeda? Ruby diambil darimu, tapi digantikan oleh Hazel. Tuhan mengambil Aurora-ku, tapi menggantikannya denganmu. Jika kau rindu dengan ibumu, atau bahkan jika kau butuh seorang ibu, datanglah padaku. Anggap aku ibumu. Kau memang bukan Aurora, Hazel juga bukan Ruby, tapi kita para ibu sudah mendapatkan ganti masing-masing. Jadi sebaiknya kita menerima dengan tangan terbuka apa yang ditawarkan oleh Tuhan, bukan?"

Amber memandang wanita ini dengan takjub. Dia benar. Amber tidak pernah mencoba memandangnya dari sudut yang berbeda. Selama ini yang dilihatnya adalah hidupnya yang merana, dia tidak pernah mencoba memahami hidup orang lain. Dia merasa hidupnya tak berharga karena ayahnya membecinya dan James mengkhianatinya, dia tidak pernah berpikir hidupnya akan berharga untuk orang lain. Air mata kembali turun, Amber merasa sayang pada wanita paruh baya yang duduk dan bersedia merengkuhnya kedalam pelukannya. Setelah mereka berpelukan, Victoria menangkup tangan Amber dan ganti bercerita.

"You know, suatu hari Aurora mengatakan ingin bekerja di perusahaan selain perusahaan ayahnya. Kami setuju saja, agar Aurora menjadi sedikit dewasa. Dua minggu setelah dia bekerja, dia menceritakan padaku bahwa ada pria super dingin di kantornya. Pria ini sudah bekerja satu tahun di perusahaan itu ketika Aurora mulai. Setelah itu pembahasan Aurora hanya seputar beruang kutub, freezer, gunung es, musim dingin, semua hal dingin yang mewakili Gavin. Tidak pernah menyapa yang lain, tidak pernah mengobrol dengan yang lain. Yang dilakukannya hanya datang, bekerja, pulang. Aurora bilang teman-teman wanita di kantornya sampai lelah berusaha mengajak Gavin kencan. Bahkan berbicara saja dia tidak mau, mana mungkin berkencan dengan dinding? Aku yakin Aurora-lah yang berusaha mendekati Gavin. Awalnya aku takut Aurora akan terluka karena sepertinya Gavin sama sekali tidak menyukainya.

"Tapi 4 tahun kemudian, ketika mereka memutuskan untuk menikah, jelas aku bahagia. Gavin mencintai Aurora, tapi entah kenapa aku merasa mereka tidak pas. Gavin tidak head over heels pada Aurora, kau tahu maksudku kan? Seperti yang kau rasakan pada James itu? Tidak ada pandangan memuja dari Gavin untuk Aurora. Oh...Gavin sangat baik, dan aku tahu dia mencintai Aurora, tapi rasanya...ah I don't know how to explain it, but I hope you get what I mean." Amber menganggukkan kepalanya.

"Nah...tadi, aku melihat pandangan itu. Gavin memujamu Amber sayang. Aku akui aku sedikit iri, tapi aku bahagia. Gavin menikah hanya 10 bulan dan sudah selama 4 tahun ini menduda. Dengan sifatnya yang super dingin terhadap wanita itu -- bahkan Aurora butuh 4 tahun untuk menaklukkannya, kau tahu? -- aku dan ibunya hampir merasa yakin dia tidak akan pernah menikah lagi. Tapi lihatlah, inilah yang disebut 'when you know, you know'. Kau tidak butuh seribu tahun untuk tahu bahwa kau sudah menemukan belahan jiwamu. Cukup sedetik dan kau akan merasa yakin. Percayalah Amber, ini adalah saatmu untuk bahagia. Lihatlah betapa Tuhan sudah memberimu segala hal yang menyakitkan untuk kemudian memberimu kebahagiaan yang bertubi-tubi sekarang.

"Berbahagialah...atau jika kau tidak tahu bagaimana caranya, biarkan Gavin yang mengajarimu. Selama 4 tahun aku mengenal Gavin, aku tidak pernah melihatnya tersenyum lebar dan tampak santai. Pandangan memujanya hanya ditujukannya untuk Catherine -- ibunya -- dan Hazel. Tapi lihatlah hari ini, aku melihat keajaiban dari sosok penuh luka tapi mampu membuat seorang gunung es bernama Gavin Cafaro meleleh dan bertekuk lutut." Victoria menangkupkan tangannya ke wajah Amber. "Menikahlah dengannya, Amber sayang. Jadilah istrinya, dan ibu untuk Hazel. And for God's sake, beri kami cucu lagi."

Amber tertawa di tengah tangisnya. Mereka berpelukan dan air mata Amber turun semakin deras. Victoria mengelus punggungnya dengan sayang. Amber tidak pernah merasakan pelukan ibunya. Dia bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Maka dia memeluk Victoria dengan erat. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, dia bersyukur pada Tuhan. Bersyukur telah menghadirkan Hazel, Gavin, dan Victoria dalam hidupnya. Bersyukur telah diberi kesempatan untuk bahagia.

Amber dan Victoria terlalu larut dalam cerita mereka sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi, sepasang telinga Gavin setia mendengarkan dari awal. Matanya ikut berkaca-kaca, satu hal yang hampir tidak pernah terjadi. Dalam hati dia berterima kasih pada Tuhan, yang telah mempertemukan mereka dengan Victoria hari ini.

***

Embracing Happiness (On Going)Where stories live. Discover now