Daun maple yang gugur berterbangan tertiup angin, membentuk barisan panjang permadani keemasan di sisi sungai Cam yang hari ini tengah ramai dipadati pengunjung yang menikmati hangatnya matahari di awal September yang mulai dingin.
Sean juga ada di antara keramaian ini, dia berharap kerumunan serta pemandangan yang indah akan membuat moodnya membaik lalu kemudian membuatnya menerima bahwa apa yang ia dengar barusan adalah kenyataan, bukan mimpi buruk seperti yang ia harapkan.
Namun, alih-alih tenang, dia justru makin pusing mendengar dengungan orang-orang yang berceloteh riang.
Perasaan mual kembali merebak, mengaduk isi perutnya yang kosong. Membuat Sean gemetar dengan keringat dingin bercucuran membasahi pelipis.
Pria tampan itu akhirnya memutuskan, kembali ke apartemennya yang sepi adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk menenangkan diri. Sembari memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah pelik ini.
Tapi, hingga sore menjelang Sean tetap tak kunjung menemukan jalan keluar, dia menghela nafas gusar sembari berjalan gontai menuju pantry untuk menyeduh satu gelas lagi susu coklat. Hanya ini satu-satunya yang bisa masuk dengan aman ke dalam perutnya tanpa harus dikeluarkan lagi.
Setelah selesai, Sean kembali ke kamarnya dengan segelas susu yang masih mengepulkan uap panas. Dia menyeruput perlahan, sambil memandang lekat ke barisan nomer kontak Yibo yang terjejer rapih di ponselnya.
Sean menimbang, haruskah dia menelepon alpha itu? Lalu apa yang harus ia katakan jika telepon sudah tersambung?
Sean tidak mungkin tiba-tiba mengatakan bahwa ia tengah mengandung anaknya, selain karena Yibo tidak mengingat kejadian itu, juga karena sejak awal alpha tampan itu sudah memberi batasan jelas tentang hubungan mereka.
Lagi pula belum tentu Yibo akan percaya.
Sean kembali menghela nafas, dia benar-benar buntu. Segala sesuatu tampak gelap, dia seolah terjebak di labirin maut yang tak berujung.
Ditengah kekalutan itu, tiba-tiba ponselnya bergetar, di layar tertera nama sang penelepon.
Sean berdeham sejenak untuk menormalkan suaranya sebelum kemudian dia menyentuh ikon yes di layar.
"Ya, Bu." Sapanya dengan nada riang.
Tapi sepertinya ada sesuatu yang salah, di ujung sana hanya ada suara helaan nafas berat yang terdengar.
"Bu…" Panggil Sean lagi. Kali ini sang Ibu tak lagi diam. Nyonya Xiao itu menjawab dengan tangisan sendu, membuat Sean menegang khawatir. "Ibu, ada apa?!" pekiknya tanpa sadar. Di benaknya sudah bersliweran skenario mengerikan yang kemungkinan terjadi. Seperti Ayahnya kecelakaan lalu kritis hingga bisnis keluarga yang tiba-tiba bangkrut.
Tapi suara pelan sang ibu menghempas semua imajinasi Sean. Di ujung sana wanita yang melahirkan Sean dua puluh tahun silam itu berkata, "Nak, pertunanganmu dengan putra keluarga Wang sudah dibatalkan hari ini, keluarga mereka secara pribadi datang untuk meminta maaf dan memberi kompensasi, yang segera ditolak oleh Ayahmu."
Sean membisu sejenak sebelum menjawab singkat. "Oh.." Tentu saja, hal ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan, Sean justru mengira Yibo akan memutuskan pertunangan mereka tepat ketika dia menginjakkan kaki di Inggris, tak disangka alpha itu bahkan mengulurnya hingga sebulan kemudian.
Sementara Sean termangu, diujung sana Nyonya Xiao kembali berbicara, suaranya terdengar sengau di sela isak tangis yang mengganggu. "Kau tau, alasan mereka mengakhiri pertunangan kalian karena ternyata Yibo sudah memiliki kekasih dan kekasihnya itu sekarang tengah mengandung."
"...." Sean masih membisu, tapi raut wajahnya makin pias, dia meremat benda pipih dalam genggamannya itu sekuat tenaga untuk meredakan nyeri yang pelan-pelan merayap naik mencekik tenggorokannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINAI( Rewrite)
FanfictionSean terbangun dengan sakit kepala hebat, akhir-akhir ini dia kesulitan untuk mendapatkan tidur nyenyak. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena penghuni baru yang begitu tidak tau diri yang sedang menumpang di apartemennya. Ya, sudah nyaris dua...