Pertemuan: Bagian 1

589 45 1
                                        

Joanne Shin bukan lah seseorang yang suka bertindak spontan, terlebih lagi mencoba sesuatu hanya demi memuaskan rasa penasarannya. Sebagai seorang INTJ sejati Joanne tidak terlalu menyukai kejutan, liburan yang tak direncanakan, dan acap kali gusar ketika seseorang memutuskan sesuatu untuk dirinya.

"Segala hal sebaiknya dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak sebelum kemudian mengambil keputusan," ucapnya suatu hari di depan cermin.

Maka dari itu ketika pagi ini Joanne tanpa pikir panjang melangkah keluar dari kamarnya yang nyaman menuju pintu depan rumah, berpamitan dengan anggota keluarga, dan berjalan menelusuri hiruk pikuk kota hingga tak sengaja berpapasan dengan Judy Lee, temannya, yang disapa langsung menampilkan air muka terkejut bukan main.

"Jo...? JOANNE? JOANNE SHIN?!" seru Judy histeris, nyaris seperti baru melihat hantu. Salah satu alis Joanne terangkat karena keheranan, diikuti dengan dahinya yang ikut mengerut. "Kau keluar kamar...? Kau? Tunggu... Tunggu dulu. Aku yang gila atau kau?"

Yang menjadi objek pembicaraan hanya bisa terkekeh kecil sembari mengikat rambut cokelat tuanya menjadi ekor kuda, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Judy. "Aku cuma iseng. Ingin tahu bagaimana sibuknya kota ini. Toh tidak rugi kan, sekali-sekali keluar kamar?"

Judy melongo total. Joanne yang ia kenal sebagai sahabat kental dari kecil... Seorang yang ulung sekali dalam mematikan omongan lawan bicara karena memang ia sangat pendiam, sekaligus orang yang selalu memamerkan sepuluh keunggulan tinggal di dalam kamar dan tak bersosialisasi... Hari ini keluar rumah.

"Pasti kau yang sudah gila," ucap Judy, akhirnya menyimpulkan sendiri. Joanne melemparkan cengiran canggung, kemudian mengangkat kedua bahunya seolah-olah hal yang ia lakukan adalah rutinitas sehari-hari. "...aku mau menemani kau demi mengecek ulang kewarasanmu, tapi tugas kuliah sudah menungguku lebih dulu di rumah. So... bye? Text me when you're back to normal."

"Hahahaha! Sialan. Tapi ya, ya, nanti akan aku kabari kalau aku sudah kembali normal. Hati-hati di jalan Judy, jangan lupa utang tugasmu!" Joanne berseru, lalu tangannya melambai ke arah Judy hingga punggung sahabatnya menghilang tertutup punggung banyak manusia lainnya.

Kemudian Joanne meneruskan perjalanannya, kembali menyusuri kota di Sabtu pagi yang cerah. Banyak wajah yang tak dikenalnya, menghirup bau-bauan sedap dari toko roti juga restoran yang baru ia lewati, dan akhirnya... tempat tujuan Joanne. Sebuah bangunan kecil bercat biru tua yang diapit oleh toko buku dan toko baju yang begitu besarnya, terlihat sekali berusaha tetap mencolok dengan cara mengecat pintu masuk serta kusen jendelanya menggunakan warna merah bata. Papan kecil warna hitam dihiasi tulisan putih besar-besar yang menggantung di depan pintu masuk menandakan nama tempat tersebut, IT'Z_OURS SALOON AND BOUTIQUE. Joanne mendorong terbuka pintu depan, lalu melangkah masuk dengan mantapnya.

"Joanne! Sangat... tidak diduga. Mana ibumu?" sapa perempuan paruh baya berambut hitam dengan sentuhan abu-abu di sana-sini. Joanne tersenyum, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.

"Aku ke sini sendiri. Ingin memberikan kejutan pada ibu di rumah dengan rambut baru," Joanne mengumumkan. Entah dapat ide dan nyali darimana.

Perempuan paruh baya yang rupanya pengelola salon tersebut hanya bisa terheran-heran. Joanne yang sejak kecil rambutnya tak pernah mau diapa-apakan, baru saja meminta padanya agar seluruh rambutnya diberikan permak yang tak tanggung-tanggung.

"Kau yakin? Sekali melakukan ini... penyesalannya akan bertahan kurang lebih enam bulan, sebelum harus kembali lagi untuk perawatan tambahan," gurau si pemilik salon. Joanne tertawa renyah, menyanggupi.

"Tentu! Aku punya firasat baik kalau hasilnya akan cocok."

===

Dan setelah melewati proses kolot yang panjang selama kurang lebih dua jam (rambut Joanne susah sekali dihilangkan warna aslinya), gadis berumur delapan belas tahun itu keluar dari salon dengan cengiran luar biasa lebar dan rambut berwarna merah muda.

"I must've been crazy," ujarnya pada diri sendiri setelah tak sengaja melihat pantulan wajahnya di kaca toko roti. Tidak mau kehilangan euforia sekali dalam seumur hidup tersebut, Joanne memasuki toko roti itu dan langsung disambut jejeran aneka roti yang terpajang di etalase. Perutnya seketika berbunyi.

Joanne lantas mengambil baki berikut capitan plastik lalu mulai mengamat-amati calon sarapannya. Ia melihat roti cokelat, donat gula, potongan-potongan sosis yang menghiasi sepotong roti berwarna keemasan (pada tahap ini mata Joanne sudah terlihat sangat lapar), hingga akhirnya gadis itu memutar balik untuk melihat roti lain yang dipajang pada rak-rak kayu yang menempel di dinding.

Ketika Joanne sedang sibuk menahan lapar sekaligus membaca dengan teliti satu per satu label yang menamai roti-roti tadi, seseorang mendorong masuk pintu toko roti tersebut dan menyebabkan belnya berbunyi. Joanne nyaris saja menoleh kalau bukan karena sudut matanya lebih dulu menangkap label yang bertuliskan, mocha cream filled croissants.

"Ya Tuhan... Anak-anakku. Cintaku, roti rasa moka," gumam Joanne pada roti di hadapannya. Kalau pencahayaannya diatur sedemikian rupa, mungkin akan terlihat bagaimana mata Joanne sedikit berair sebab terharu menyaksikan calon sarapan paginya.

Beranjak sedikit dari Joanne, jika gadis itu memperhatikan, seseorang yang baru saja ikut masuk ke dalam toko roti tersebut dan sekarang sedang melihat-lihat, merupakan perempuan sebayanya. Namun tak seperti Joanne, gadis tersebut memiliki rambut hitam sederhana yang panjangnya nyaris melewati pinggang, hingga bisa jadi akan merepotkan ketika ia ingin mencuci rambutnya di pagi hari.

Sembari membatin dalam hati, gadis yang memiliki gurat wajah lembut nyaris seperti anak-anak itu menyusuri etalase toko. Ia berharap menemukan roti kesukaannya yang ia damba-dambakan sejak kemarin malam sebelum tidur, bahkan sampai terbawa mimpi. Beruntungnya ia, tak lama kemudian langkahnya terhenti tepat di depan sebuah label yang jaraknya hanya kurang lebih dua puluh senti dari tempat Joanne sedang berdiri. Gadis itu kemudian membaca labelnya dengan suara halus sambil tersenyum, "strawberry roll cake."

Joanne terkesiap, seketika tersentak dari lamunan selama seratus dua puluh detik tentang bagaimana croissant moka di hadapannya akan terasa lumer saat menyentuh lidah dan terbangun sebab mendengar suara yang masuk dalam ruang pendengarannya. Joanne berdeham karena merasa canggung sendiri sebab sudah mencuri dengar omongan orang lain, sementara si gadis ikut terkejut di tempatnya berdiri dan langsung menoleh ke sebelah kiri.

"Oh, apa aku mengganggu?" tanya gadis itu. Wajah bulatnya yang kini dibubuhkan kerutan halus di dahi jadi terlihat menggemaskan, atau setidaknya itu lah yang terlintas di pikiran Joanne.

"Eh- tidak, tidak. Aku tidak sengaja mendengar ucapanmu. Kupikir aku yang mengganggu. Sori," ujar Joanne, ingin cepat-cepat menyudahi pembicaraan. Ia mulai berpikir kalau impulsivitasnya akan cepat atau lambat mendatangkan bencana. Akan tetapi lawan bicaranya, alih-alih merasa tersinggung, malah kini menunjukkan air muka yang cerah. Sebuah senyuman tersimpul di wajahnya dan itu merupakan senyuman yang jelas lebar sekali, karena mata gadis tersebut sampai berubah menyerupai bentuk bulan sabit. Detak jantung Joanne rasanya berhenti untuk sepersekian detik.

Sayangnya, gadis itu tidak tahu ampun. Setelah upayanya menghentikan kerja jantung Joanne (yang tentunya sukses seratus persen), ia mengulurkan tangan kanannya yang tidak dipakai membawa baki plastik pada Joanne. Lalu perlahan tapi pasti bibirnya bergerak dan mengeluarkan suara, tapi Joanne nyaris tidak mendengar keseluruhan kalimatnya sebab kepalang fokus mengamati wajah gadis itu sampai akhirnya telinga Joanne menangkap dua kata terakhir.

"...namaku Julia."

Lalu entah kenapa, Joanne otomatis tersenyum.

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang