"You're going somewhere?"
Julia mendongak dan mendapati pacarnya telah berada di hadapan meja makannya di kafetaria, tepat ketika gadis tersebut sudah selesai membereskan seluruh peralatan makannya dan akan beranjak ke tempat lain. Ekspresi wajah keduanya seketika berubah canggung, dan Julia butuh agak sedikit lebih banyak waktu untuk memikirkan jawaban yang tak akan membuat pacarnya sakit hati.
"Um... aku akan pergi ke toko peralatan gambar. Kau mau ikut sekalian?" ajak Julia pada akhirnya. Meskipun pacarnya tak tahu, di balik punggungnya Julia menyilangkan jari tengah dan telunjuk, berharap sepenuh hati agar ajakannya ditolak.
"Aku baru tahu kau suka menggambar...?" pacarnya malah balas bertanya. Julia terpaku. Ia baru saja akan bergegas setelah selesai merapikan kursi yang ia tempati dan yakin kalau lawan bicaranya akan menolak. Namun yang keluar dari mulut pacarnya malah sama sekali lain.
Gadis berambut cokelat gelap sebahu yang hari itu mengenakan rok selutut warna hitam dengan kaus senada serta blazer warna biru tua, hanya mampu menatap wajah bingung pacarnya. Kalau boleh jujur, Julia pun sama tidak mengertinya harus merespon seperti apa pada pertanyaan itu.
Siang tadi ia hanya berusaha makan sembari berselancar di internet, kemudian merasa bosan dan mulai mencari-cari video. Hingga akhirnya, Julia menemukan beberapa vlog dari mahasiswa lokal di kampusnya. Banyak dari mereka yang mengabadikan hobi melukis mereka dalam bentuk video macam itu, lalu diunggah di internet. Dan sebagai seseorang yang hanya punya satu kenalan dengan bakat menggambar, mau tidak mau pikiran Julia langsung melayang pada gadis berambut merah muda yang menggambarnya di tepi pantai kala itu.
Joanne. Apa kabarnya ya, dia?
Setelah proyek pertama dan terakhir mereka selesai, Julia hanya punya satu foto bersama Joanne sebelum mendadak komunikasi mereka terputus (Julia tak punya alasan untuk terus-menerus mengirimi Joanne pesan dan mungkin sebaliknya juga begitu... Padahal Julia merasa senang berbicara dengan Joanne.), dan Joanne bagai ditelan bumi.
Julia betul-betul tak pernah melihat gadis itu lagi. Tak peduli seberapa sering ia berpura-pura tersasar dan menghampiri fakultas arsitektur, mengabaikan seluruh pesan masuk dari teman-teman (sampai Luciana merajuk padanya seharian kala itu) dan pacarnya hanya untuk mengecek chat room milik Joanne barangkali gadis tersebut sudah mengontaknya terlebih dahulu, dan walaupun Julia seperti merasa melihat Joanne minggu lalu di taman tak jauh dari apartemennya... Ia yakin itu bukan Joanne, sebab gadis yang ia lihat rambutnya di atas bahu dan berwarna biru gelap.
Maka dari itu, ia sudah bertekad bulat ingin membelikan Joanne peralatan menggambar baru. Siapa tahu ia bisa jadi mengobrol lagi dengan Joanne? Mungkin diajak mengunjungi tempat tinggalnya juga? Julia selalu penasaran di mana gadis itu tinggal. Selama mereka bekerja sama, Joanne jarang sekali bercerita tentang dirinya. Seringnya ia hanya mendengarkan, memetik gitar, tersenyum, dan membuat Julia pening karena senyumannya.
Eh?
"Jules?" pacarnya memanggil Julia kembali ke alam sadar, dan gadis itu secepat mungkin memikirkan sebuah alasan.
"Oh, itu... bukan buatku. Buat Lucy, dia baru mau mencoba gambar. Jadi aku belikan," jawab Julia, sembari minta maaf dalam hati karena telah membuat Luciana jadi kambing hitam dalam percakapan ini. Pacarnya mengangkat alis.
"Kenapa tidak pergi berdua?"
Julia tersenyum tipis. Pertanyaan selanjutnya, ia sudah lebih siap menjawab. Tentu pacarnya akan menanyakan hal ini, karena setahu pacarnya ia dan Luciana hampir tak terpisahkan. Masalahnya sekarang kan, pacar Julia tak lagi tahu segalanya. Dan ketika hal itu terlintas di benaknya, perut Julia mendadak merasa melilit.
"Ia sedang ada kerjaan lain. Makanya aku buru-buru, karena setelah ini harus memberikannya langsung ke Lucy," dustanya. Julia bisa merasakan kalau pacarnya masih curiga, namun nampaknya sang pacar hanya mendorong pikiran-pikiran aneh tersebut ke belakang pikirannya, sebab detik berikutnya mereka telah berpisah jalan. Pacarnya tak ikut dengan alasan ada latihan sepak bola.
===
Kalau kau bertanya-tanya sedang ada apa sebetulnya, sangat disarankan untuk jangan bertanya pada Julia. Karena yang disebut namanya barusan pun tak tahu sejak kapan ia kabur (ha, kabur?) dari pacarnya. Bahkan Luciana pun tak bisa menemukan alasan mengapa Julia terus-menerus menghindar setiap kali pacarnya mengajak jalan, baik sekadar untuk menonton atau makan bersama.
Jika tidak salah ingat, Julia mulai menunjukkan tanda-tanda penghindaran ini semenjak malam pergantian tahun. Julia ingat menghabiskan hari itu di rumah si pacar bersama keluarga pacarnya. Gadis itu bermain dengan adiknya, memasak bersama ibunya, dan akhirnya menunggu tahun berganti dengan pacarnya di balkon atas.
Mereka mengobrol berdua. Tiap kali pacarnya membuat lelucon, Julia tertawa. Tiap kali Julia tersentak karena suara kembang api yang ditembakkan ke langit malam, pacarnya tergelak pula. Kurang lebih hari itu merupakan salah satu hari terbaik dalam hidup Julia. Sebagai pengamat pun, kurasa dapat digolongkan menjadi sebuah hari yang sempurna.
Hingga jam berubah menunjukkan pukul dua belas tepat tengah malam dan di tengah pelukan yang manis, pacar Julia menciumnya. Tanpa sadar membuat Julia mendadak beku seperti baru diselamatkan dari badai salju.
Itu bukan kali pertama mereka berciuman. Lagipula itu merupakan ciuman yang biasa, yang seharusnya terasa hangat dan menyenangkan. Mungkin bisa dikatakan mirip seperti kembang api yang serentak menghiasi langit malam di atas mereka berdua. Namun itu yang seharusnya terjadi. Jika saja Julia tidak mendadak merasa sangat asing, merasa sangat jauh, dan kebingungan.
Ketika pacarnya melepaskan ciuman singkat tersebut (yang terasa bagi Julia seperti lama sekali), gadis itu langsung memasang senyum palsu. Lalu pamit dengan alasan baru ingat kalau ia meninggalkan dua buah es krim yang seharusnya mereka makan bersama, dan ketika sampai di dapur beralasan lagi kalau orang tuanya sudah meminta Julia pulang.
Esok harinya, Julia selalu mencari jalan memutar tiap kali melihat pacarnya di gerbang gedung fakultas. Tak lama bagi gadis tersebut untuk menjadi terbiasa oleh rutinitas kaburnya yang baru, bahkan ia sangat fasih sampai suatu hari pacarnya menangkap basah dirinya tepat di depan kelas. Julia tak ada pilihan selain mengikuti sang pacar untuk makan bersama.
Dan sekarang, sendirian di dalam toko peralatan gambar yang tak pernah dimasukinya selama berkuliah, Julia hanya bisa memikiran Joanne saja. Jujur saja, gadis itu mulai curiga bahwa penyebab dari dirinya yang merasa asing dari kekasihnya adalah Joanne. Tapi... kenapa?
Mereka toh, hanya teman biasa? Kenapa kehilangan obrolan ngalur ngidul dengan Joanne lebih sulit darinya daripada menghiraukan pesan-pesan dari seseorang yang telah berkencan dengan Julia selama lebih dari setahun? Ya oke, mungkin ia dan pacarnya tak begitu cocok dalam beberapa hal... tapi bukannya itu yang membuat orang pacaran? Karena mereka saling melengkapi, kan?
Dengan satu set alat lukis dan dua buah buku sketsa baru di tangan, Julia berjalan sangat perlahan menuju kasir toko tersebut. Bersamaan dengan tangannya merogoh ke dalam dompet, menerima bungkusan plastik berisi peralatan melukis yang seumur hidup tak pernah terpikirkan untuk dibelinya, Julia berjalan dengan tatapan kosong menuju halte bis. Pikirannya berdengung, hatinya terasa berat.
Apa benar meninggalkan seseorang yang telah lama bersama, hanya untuk satu orang yang baru ditemui sore kemarin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Enough
Любовные романыSetiap orang pasti memiliki satu atau dua potong cerita untuk dibagikan, namun tidak selalu mempunyai orang lain yang mau menceritakannya kepada dunia. Di sini, saya akan berusaha sebaik mungkin dalam mengisahkan tentang dua orang dengan dua kepriba...