When Love Arrives: Bagian 2

144 29 6
                                    

Tiga hari sebelum Natal.

"When love arrives say, welcome make yourself comfortable," Julia menoleh ke gadis di sebelahnya, memberikan kode.

"If love leaves, ask her to leave the door open behind her, turn off the music and listen to the quiet," Joanne yang tadinya terfokus pada gitar kemudian menoleh ke arah depan, seolah-olah ada penonton yang menyaksikan.

"Whisper—" Julia ikut menatap ke arah depan.

"Thank you, for stopping by."

Kalimat terakhir mereka ucapkan bersama, sebelum Joanne memetik beberapa nada terakhir pada gitar menggunakan jemarinya.

Mereka membiarkan suasana hening beberapa saat, lalu Julia menepuk tangan agak terlalu heboh. Mungkin ia maksudkan sebagai dorongan moral bagi ia dan Joanne.

"Akhirnya! Setelah berkali-kali, ini merupakan hasil yang paling baik!" Julia memonitor video latihan mereka melalui layar ponselnya. Dahinya mengerut, menandakan betapa seriusnya ia kala itu. Joanne yang baru selesai memasukkan gitar ke dalam tas gitarnya, kini duduk di kursi sebelah milik Julia. Joanne memperhatikan bagaimana ekspresi Julia dan dalam hati berpikir kalau rasa-rasanya apapun yang Julia lakukan akan tetap membuatnya gemas. 

"Jadi...? Kau sudah puas?" tanya Joanne, tengkuknya digaruk-garuk meskipun tidak gatal. Julia mengangkat sebelah tangan sebagai respon, meminta Joanne menunggu sedikit karena videonya belum selesai.

Setelah lewat beberapa waktu yang dipakai Joanne untuk mengambil sekaleng es kopi dari kulkas Julia, gadis yang terakhir disebut namanya itu akhirnya mendongak dan tersenyum lebar sekali. Mengakibatkan perut Joanne terasa seperti jungkir balik, yang diyakini tak ada hubungannya dengan kopi yang baru ia minum.

"Sudah! Terima kasih banyak, ya? Kalau bukan kau yang menghubungiku, aku pasti sudah jadi gembel saat pentas Natal nanti."

"Hahaha, kau berlebihan Julia. Aku yakin pasti ada kok yang berniat menghubungimu. Tapi terlambat, mungkin?"

Julia menggeleng dengan ekspresi agak muram, mengenang kembali bagaimana nomor teleponnya tersebar begitu saja di seluruh fakultas namun tetap tak ada yang tertarik menghubungi sama sekali. Hanya untuk sekadar mengerjai Julia pun tidak. Ia sempat berpikir apakah orang-orang tahu kalau selebaran tersebut berasal darinya dan Julia sebegitunya tidak menarik hingga tak ada yang mau menelepon nomornya...

"Hei, Julia?"

"Eh- oh. Hehe, maaf. Aku memikirkan yang lain," Julia berbohong secepat kilat, tanpa peduli apakah Joanne akan mempercayai kebohongannya atau tidak. "Tapi sebetulnya kau memang satu-satunya orang yang meneleponku. Tidak ada yang lain, sepertinya sudah jodoh."

Joanne tersedak di tempat duduknya. Julia bingung, namun cepat-cepat menepuk punggung gadis berambut merah muda tersebut secara perlahan. Setelah Joanne terlihat lebih bisa menguasai diri, Julia terkekeh geli sedikit. "Kau ini kenapa?"

"Tadi salah cara minum, kayaknya," jawab Joanne asal sebut. Tentunya Joanne tahu bagaimana cara minum kopi kaleng, dan tentu saja alasan ia tersedak adalah karena Julia secara enteng menyebutkan kalau bertemunya mereka kali ini merupakan pertanda jodoh.

"Hati-hati," ucap Julia, air mukanya berubah jadi lebih khawatir. Joanne hanya membalas dengan anggukan dan jempol yang diangkat, sembari berusaha mengatur napasnya sekaligus memastikan kalau ia sudah betul tidak kenapa-napa.

Kemudian, hening lagi. 

Sebetulnya tidak ada satu pun dari mereka yang keberatan. Padahal, dua hari setelah mereka mulai bekerja sama, Joanne menemukan kalau Julia merupakan seorang ENFJ. Seorang ekstrovert yang berarti Julia pada dasarnya memang hobi senyum dan mengobrol dengan banyak orang. Bahkan gadis itu juga mengakui sendiri, kalau terkadang keheningan terasa terlalu asing dan mencekik baginya. Berbeda dengan Joanne, yang memang sedari kecil hemat bicara.

Yang dipikirkan Julia sembari ia pergi ke dapur untuk menyiapkan kudapan bagi dirinya dan Joanne adalah, bagaimana mungkin mereka bisa tetap terselimut dalam keheningan meski telah bekerja berdua dalam kurun waktu yang cukup lama? Lebih ganjilnya lagi, Julia tak merasa keheningan bersama Joanne merupakan suatu hal yang mencekik lehernya. Diam-diaman mereka justru terasa sangat alami bagi Julia. Seolah-olah berada berdua dalam jarak yang cukup dekat dari Joanne saja cukup baginya, mereka tak perlu terikat dalam interaksi konstan terus-menerus.

Joanne baru angkat bicara lagi ketika Julia selesai membersihkan dan memotong buah apel untuk mereka. "Kenapa kau memilih slam poetry? Kenapa bukan puisi biasa saja, yang notabene lebih mudah dialihkan menjadi sebuah lagu ketimbang puisi yang dari awalnya sudah merupakan penampilan utuh?"

Julia terpaksa harus menengok dari konter dapur, sebab itu merupakan kalimat terpanjang yang Joanne lontarkan padanya setelah berhari-hari menghabiskan waktu bersama di apartemen Julia. Joanne mengangkat alis, yang dibalas Julia dengan cengiran polos sebelum berjalan ke ruang TV sembari membawa baki berisi apel dan jus jeruk.

"Karena aku suka puisinya? Dosenku juga menanyakan hal yang sama. Terlebih karena seluruh teman sekelasku memilih puisi biasa, bukan slam poetry. Namun aku memberikan alasan tak terbantahkan hanya dengan menunjukkan video pembacaan puisinya, dan voila! Dosenku juga suka. Jadilah begini!"

Julia mengakhiri penjelasannya dengan menggigit sepotong apel, yang kemudian diikuti pula oleh Joanne. Teringat akan hal lain yang tak ada hubungannya, Joanne lantas berkata tanpa berpikir terlebih dahulu, "tumben bukan stroberi?"

Julia menoleh, lalu tertawa sebelum melayangkan tinju kecil pada bahu Joanne. "Aku manusia ya, bukan ratu stroberi."

"Aku tahu," ucap Joanne, menggigit apelnya dan membalas tinju Julia dengan tepukan halus di kepala.

Lalu Joanne terdiam, tangannya membeku di udara bersamaan dengan mata Julia yang juga membulat karena keheranan. Kedua gadis tersebut mendadak memiliki banyak pertanyaan dalam kepala mereka masing-masing. 

Mampus... Ngapain aku barusan?, batin Joanne sembari menarik kembali tangannya dan menaruhnya dengan rapi di atas bantal sofa milik Julia.

Huh... Dia tipe orang yang seperti ini kah?, tanya Julia dalam hati, karena tak menyangka kalau Joanne merupakan seseorang yang menyukai kontak fisik dan hal-hal semacam itu. Menjadi penjelasan juga kenapa mereka selalu duduk dengan jarak aman di antara satu sama lain ketika menghabiskan waktu untuk mengobrol di sofa ruang TV apartemen Julia.

Hening yang ketiga kali dan hening yang paling canggung untuk pertama kali. Masing-masing dari mereka mulai mengeluarkan dehaman-dehaman aneh, yang tujuannya mungkin agar mencairkan suasana. Namun menjauhkan diri dari satu sama lain nampaknya bukan solusi dari situasi macam ini.

"Uh... Kalau boleh jujur, aku juga suka tema puisinya," ucap Joanne, banting stir dari buah-buahan menjadi satu-satunya topik intelektual yang mampu ia pikirkan. 

"Oh, ya? Memang lucu, sih... Bagaimana kita pikir kita tahu cinta itu seperti apa, namun seringnya cinta yang kita ketahui hanyalah ide yang kita ciptakan sendiri. Padahal ketika bertemu betulan dengan cinta, kita bahkan tidak mengenali bentuknya sama sekali."

Joanne mengangguk, dalam hati merasa sangat lega karena Julia dengan cepat menangkap umpan yang ia berikan. Sehingga atmosfer canggung yang tadi bisa cepat menghilang. Kemudian Joanne tanpa sadar terkekeh. Lalu berhenti, yang mengakibatkan Julia tertawa sebab melihat wajah Joanne yang tampaknya melakukan hal barusan tanpa sadar. 

"Sori... Aku hanya tersadar sesuatu yang lucu. Kalau ternyata, aku dulu juga kurang lebih punya konsep yang sama mengenai cinta. Namun seiring berjalan waktu, konsep tersebut berubah-ubah dan sampai sekarang aku masih tak paham cinta yang sebenarnya seperti apa."

"Cinta itu macam-macam tergantung definisi orang yang merasakan, tapi itu opini pribadi," Julia menyahuti. Joanne mengangguk. "Sekali lagi terima kasih sudah mau membantu tugas akhirku."

Joanne menatap Julia, kemudian tersenyum. "Sama-sama, Julia."

"Hehehe. Kalau bukan karena dibantu, aku pasti belum selesai dan besok aku tidak jadi jalan dengan pacarku!"

Julia nyengir lebar kemudian memainkan ponselnya, seperti hendak membalas pesan seseorang. Sementara itu Joanne merasakan rasa ngilu yang tak bisa ia jelaskan, namun rasa-rasanya perasaan tersebut bersarang dalam hatinya. Entah sejak kapan.

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang