Selamat Membaca...
.
.
.Naruto berlari dengan sekuat tenaganya, menyusuri lorong rumah sakit. Jantungnya berdebar kencang, rasa khawatir jelas tercetak di wajah tampannya.
Melihat Ibu dan Ayahnya yang berada di depan ruangan bersalin, Naruto semakin memacu larinya.
"Ibu..."
"Naruto... Hinata..." Ujar Khusina cemas. Pasalnya tadi siang, Khusina terkejut kala mendengar teriakan kencang dari Hinata. Mata rubynya terbelalak melihat air ketuban Hinata pecah. Perkiraan Hinata melahirkan masih minggu depan. Dengan bantuan Minato, Khusina membawa menantunya ke rumah sakit tak lupa mengabari putra sulungnya.
"Masuklah Nak... Hinata pasti membutuhkanmu. Ibu tak bisa menemaninya, Kau tau Ibu takut darah." Ujar Khusina sendu, dirinya memang tak bisa melihat darah, saat itu juga ia akan tak sadarkan diri.
Naruto bergegas masuk ke dalam ruangan bersalin. Terlihat istrinya sedang berbaring miring membelakanginya, selang infus pun tertancap di lengannya. Naruto mendekat,mengusap rambut Hinata lalu menciumnya. Hinata merubah posisinya menjadi terlentang, saat merasakan elusan di kepalanya.
Naruto memejamkan mata melihat tubuh sang istri yang gemetar menahan sakit membuat Naruto ketakutan. Tak pernah ia melihat Hinata kesakitan sampai keringat keluar dari tubuhnya. Rasanya pasti sakit sekali.
"Sayang... Aku disini, kuat untuk anak kita." Naruto menyemangati istrinya. Hinata hanya tersenyum sambil menahan sakit. Mengaduh, merintih, meremat tangan Naruto dengan sekuat tenaga seakan menyalurkan betapa sakit yang ia rasa. Mata Naruto berkaca melihat perjuangan istrinya untuk melahirkan anak mereka. Memandangi istrinya dengan mata yang buram tertutup air mata, wajah pucat Hinata, ringisan serta erangan kesakitan akan Naruto ingat baik-baik dan Naruto ceritakan nanti pada anaknya jika, perjuangan Ibu ketika melahirkannya ke dunia adalah nyawanya sendiri.
"Aakkh...sa-kit, Naruto-kun." Adu Hinata pada Naruto, tangannya meremat kuat tangan Naruto.
"Kau kuat sayang." Naruto menyemangati dengan suara bergetar. Hinata yang jelas mendengar suara suaminya bergetar memandang wajah tampan suaminya yang terlihat sangat cemas dan takut. Tangan Hinata yang bebas terulur menghapus air mata disudut mata Naruto.
"Jangan menangis, hari ini hari bahagia kita Naru." Ucap Hinata lirih, memaksakan senyumnya terpatri di bibirnya. Tak lama kontraksi datang kembali kali ini dengan sangat hebat.
"Akhhh...!" Hinata menjerit. Naruto menggenggam tangan Hinata kuat, menyalurkan kekuatan. Menundukkan wajahnya menaruh keningnya dipundak Hinata. "Maafkan aku Hinata." Ujar Naruto lirih. Hinata tak tau mengapa suaminya ini meminta maaf.
"Naru... Anak kita, akh...aku merasakannya..." Racau Hinata tak jelas, Naruto tersentak berdiri dari posisinya untuk memanggil dokter tapi, ternyata dokter sudah masuk kedalam ruang bersalin.
Mengecek keadaan Hinata, dokter itu pun tersenyum. "Baik, sudah sempurna... Ibu, dengarkan aba-aba dari saya ya." Tutur Dokter cantik bernama Shizune.
"Tarik nafas dari hidung dan keluarkan dari mulut." Titah Shizune pelan, Hinata mengikuti arahan dokter cantik itu. "Jika dirasa bayi mulai mengajak ibu untuk mengejan maka, mengejan saja jika, bayi belum mengajak untuk mengejan Ibu jangan mengejan ya." Tutur Shizune lagi.
Proses persalinan itu berjalan alot, akhirnya Hinata harus disanggah oleh Naruto. Posisi Hinata kini duduk menyandar pada Naruto yang sudah lebih dulu duduk di belakang Hinata. Tangannya memegang lutut serta kaki yang terbuka lebar. Naruto menyanggah tubuh istrinya, tangan mereka saling menggenggam erat. Terdengar jelas rintihan dan erangan serta teriakan tertahan dari Hinata. Naruto menyembunyikan wajahnya di ceruk leher istrinya, dia tidak sanggup melihat Hinata yang berjuang seperti itu. Badan Hinata bergetar saat mengejan. Pekikkan tertahan nan panjang itu menjadi akhir dari perjuangan Hinata, suara tangis bayi bergema di ruangan bersalin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delayed LOVE
RomanceSebenarnya saya gak terlalu bisa membuat deskripsi, tapi saya akan berusaha sebaik mungkin membuat deskripsi disini. ... Hinata. Gadis lugu dan polos harus merasakan kerasnya kehidupan dunia. Dibenci, dihina, direndahkan dan selalu dipandang jijik o...