Chapter Nineteen

162 7 6
                                    

"Kamu jangan sering-sering seperti ini ya Din." Pesannya padaku yang lagi-lagi sukses kebingungan. Aku jika berada di dekat Dr. Anton ini auto merasa menjadi manusia paling lemot sedunia hanya karena ucapan yang keluar dari mulut itu. Ih kenapa emangnya sih? Batinku.

"Hah? Memangnya kenapa Dok?" tanyaku kemudian yang langsung dibalas olehnya

"Nanti saingan saya banyak." Jawabnya yang membuatku kebingungan untuk yang kesekian kalinya.

"Kamu terlalu cantik" jawabnya lagi sambil tersenyum yang kali ini sukses membuat pipiku memerah untuk yang kedua kalinya.

"Apaan sih Dokter." Jawabku malu-malu yang lebih tepatnya malu-maluin.

Ucapannya Dr. Anton barusan walaupun kupikir hanya bercanda sukses membuat mood ku bagus dari sebelumnya, sepertinya jarang sekali aku merasakan mood ini, selain pengumuman aku keterima S1 dan S2 di ITB, keterima di FK UGM, dan saat hari dimana dinyatakan aku lulus sidang. Senanggg sekali rasanya. Saking senangnya aku tidak rela jika dokter Anton mengatakan hal serupa kepada wanita lain. Astaghfirullah, apa yang baru saja aku pikirkan. Memangnya kamu siapanya dokter Anton Din? Ya terserah dia dong, mau ngomong gitu sama siapa aja, kan juga bukan urusan kamu.

Persetan dengan pikiranku yang sudah mulai berselisih paham lagi, aku memilih untuk menikmati kebersamaanku dengan dokter Anton saat ini.

Sesampainya di Hotel Grand Indonesia, kami pun langsung dipersilahkan untuk masuk ke area ballroom tempat dimana diselenggarakan acar seminar ini. Aku dan Dokter Anton serius memperhatikan topik tentang penyakit langka tentang jantung yang baru saja ditemukan di Brazil. "Apakah penyakit itu bisa ada kemungkinan bermutasi lalu terjadi juga di Indonesia?" ucapku yang keluar begitu saja, sambil terus lanjut mendengarkan penjelasan dari professor Malik.

Tiba saat sesi pertanyaan dimulai, moderator segera membuka termin pertama dengan 3 penanya. Sebetulnya aku ingin sekali menanyakan hal tadi, tapi aku sadar akan posisi ku disini yang masih merupakan anak koas. Tidak pantas rasanya aku bertanya pada seminar kali ini yang hampir semua yang datang adalah dokter proffesional dari berbagai macam rumah sakit di Jabodetabek.

Kemudian, Dokter Anton bertanya padaku, "Boleh saya menanyakannya untuk menjawab rasa penasaranmu Din?" tanyanya, yang membuatku langsung menganggukkan kepala dengan semangat. "Boleh banget Dok, eh tapi memangnya dokter tahu apa pertanyaan saya?" tanyaku kepadanya setelah menyadari adanya kejanggalan. Tetapi sebelum menjawab pertanyaanku, moderator terlebih dahulu sudah mempersilahkan dokter Anton untuk maju ke depan menanyakan pertanyaanku.

Dan benar saja, dokter Anton tahu apa yang sedari tadi aku ingin tanyakan. Aku sedikit tercengang atas hal itu. "Bagaimana dokter tahu?" tanyaku spontan setelah ia kembali ke tempat duduknya yang ada di sampingku.

"Tahu lah, kan tadi kamu ngomong,terus saya punya telinga, jadinya saya tahu." Jawabnya santai.

"Emang iya ya,kapan? Kok saya ndak sadar." Tanyaku lagi dengan sedikit logat jawa yang lagi-lagi keluar begitu saja dari mulutku.

"Tadi Dinda" jawabnya singkat sambil tersenyum hangat. Oh Tuhan, ingin terus mendapatkan senyum itu darinya. Rasanya aku tidak rela jika harus membagi senyuman hangat itu dengan wanita lain. Batinku lagi.

Rasanya dua jam seminar ini sangatlah kurang untukku, aku sangat tertarik dengan topik yang dibawakan oleh pembicara hari ini. Tetapi apalah dayaku yang hanya bisa mengikuti alur acara ini. Seminar hari ini ditutup dengan acara makan-makan. Lagi-lagi aku hanya terdiam menunggu perintah dari orang yang memaksaku untuk datang kesini,siapa lagi kalau bukan Dokter Anton.

"Dinda, ayo makan dulu, kamu mau makan apa?" tanyanya padaku

"Saya ngikut Dokter aja." Ucapku sungkan, karena seperti yang sudah kukatakan bahwa yang menghadiri seminar ini adalah dokter-dokter senior yang hampir bisa dikatakan sudah pernah merasakan asam garam kehidupan di dunia kesehatan,kan aku jadi merasa canggung mau pergi kemana-mana, bahkan seperti sekarang ini, hanya sekedar mengambil makanan saja aku tak berani.

"Saya ambil makanan dulu ya buat kita, mendingan kamu ambil minuman biar efisiensi waktu Din." Katanya lagi yang langsung pergi meninggalkanku sendirian. S e n d i r i a n. Nggak sendirian juga sih tapi kan gaada yang kukenal di tempat ini kecuali dia. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berdiri dan segera mencari dimana tempat minuman itu disajikan.

Saat aku hendak mengambil minuman, tanpa disengaja ada seorang wanita muda yang menabrakku yang sontak membuatku sedikit meringis kesakitan. Kutelisik umurnya terlihat lebih tua beberapa tahun dariku, tetapi ia masih sangat cantik.

"Eh maaf ya saya ngga sengaja, kamu ada yang sakit?" tanyanya sopan. Rasa hkhawatir terpancar jelas dari raut wajahnya.

"Hmm, tidak, saya tidak apa-apa, hanya kaget sedikit saja." Kataku kemudian yang kuakhiri dengan senyuman tulusku karena aku tidak tega melihat raut wajah kekhawatiran itu. Tetapi aku tidak mau munafik jika memang saat ini bahuku terasa perih sekali, kurasa jarum pentul yang ada di jilbab wanita itu tidak sengaja menusuk area bahuku. Berniat tidak ingin memperpanjang urusan ini, aku segera pamit kepadanya untuk mengambil minuman dan kembali ke tempat dudukku semula, karena aku yakin dokter Anton pasti telah kembali.

"Kamu tidak nyasar kan Din, kenapa lama sekali?" tanyanya yang langsung menginterogasiku saat aku baru saja mendaratkan pantat di kursi.

"Hm-hmm, maaf Dok, tadi ada sedikit masalah, but I'am fine." Jawabku setelahnya.

Dia menaikkan satu alisnya seakan tidak mempercayai ucapanku barusan.

"Ini dok minumannya, saya tadi ambilkan jus melon dan air mineral, soalnya dokter tidak memberitahu ingin minum apa." Potongku segera untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan dilayangkan oleh Dokter Anton.

"Terimakasih Dinda, tidak apa kok, saya suka jus melon." Jawabnya kemudian yang membuatku sedikit lega karena ia mengurungkan niat untuk mempertanyakan masalah tadi.

Setelah kami menghabiskan makanan, dokter Anton mengajakku menuju tempat photobooth yang memang disediakan oleh pihak penyelenggara seminar. Akupun lagi-lagi hanya bisa mengekor dan mengikutinya kemana ia melangkahkan kaki. Sesampainya di tempat photobooth, banyak sekali orang yang mengantre disana, menunggu giliran untuk berfoto di tempat itu.

Memang ku akui photobooth yang disiapkan sangatlah instagram-able sekali. Terdapat buku-buku yang ditata sedemikian rupa hingga menutupi backdrop, ditambah bunga-bunga dan daun-daun yang sengaja ditempel di bagian atas semakin membuat photobooth itu semakin aesthetic.

Tidak heran mengapa banyak sekali orang-orang yang mengantre untuk dapat berfoto di tempat itu.

Saat ini posisiku hanya menunduk memandang heels transparan yang sedang kukenakan dibelakang punggung tegap milik Dokter Anton yang terbalut jas hitam itu.

Duk. Dr.Anton tiba-tiba saja bergerak mundur,dan otomatis meyebabkan kepalaku terbentur dengan punggungnya yang keras itu. Sontak ia pun langsung menghadap ke-arahku.

"Maaf Dinda, saya tidak sengaja, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya yang terlihat sangat khawatir sekaligus merasa bersalah kepadaku.

Aduh hari ini kenapa sih? Tadi punggung ditabrak mbak-mbak cantik, sekarang kepalaku kebentur punggung dokter Anton, habis ini apalagi. Sesalku dalam hati. Tidak sakit sih sebenarnya benturan kepalaku, tetapi malunya itu loh. Aku bisa merasakan wangi parfum dokter Anton memenuhi indera penciumanku saat ini.Posisi kami saat ini saling menghadap satu sama lain dengan jarak yang dekat, ralat begitu dekat. Akupun yang sadar atas hal ini langsung berinisiatif menjauhkan diri dari dokter Anton. "Maaf dok, saya yang nggaliat ke depan. Kepala saya tidak apa-apa kok." Kataku kemudian.

"Kita tidak usah foto deh, kasian kamu habis kebentur punggung saya, pasti sakit itu." Ucapnya lagi.

"Eh beneran saya ngga apa-apa kok Dok. Lagian sayang dari tadi udah antre panjang banget, itu tuh tinggal dikit lagi giliran dokter." Jawabku sambil menunjuk barisan yang ada di depanku berusaha meyakinkan dokter Anton.

"Loh kok giliran saya, giliran kita. Saya ga mau foto sendirian, nanti saya foto sama kamu." Jawabnya datar dan langsung menghadap kembali ke depan.

Apa? Kita? Aku dan dia?foto bareng? Ih kok aku seneng ya batinku. Astaghfirullah enggak,enggak Din, nggaboleh kesenengan dulu. Wajar lah dia gamau keliatan jomblo kalo foto sendirian. Mangkanya dia minta foto sama aku, kan yang dateng bareng dia saat ini aku. Batinku sendiri.

Saat barisanku sudah mulai mendekati area photobooth itu, aku melihat ke bunga-bunga yang terpasang cantik disana, lalu bola mataku menemukan sosok itu.

"Itu kan.." ucapku membatu seketika

Secangkir Kopi dan sepotong Red Velvet CakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang