Chapter Sixteen

91 5 1
                                    

Halo-halo  guyss, maaf udah sekitaran 2 minggu aku ga update cerita ini due to some reason hehe, jadii yukk langsung simak aja kelanjutan cerita ini. Ohiyaa sebagai permintaan maaf hari ini aku bakalan update 2 chapter, soo stay tunee~~~



"Dinda" suara itu membuatku menoleh ke belakang dan setelahnya kudapati sosok dokter Anton yang sedang berjalan ke arahku.

"Eh ada Dokter Anton,sendirian aja dok?" itu bukan suaraku,melainkan suara Citra yang berusaha terlihat ramah di depan Dokter Anton.

"Tidak,saya sedang menemani mami saya." Jawabnya kelewat datar. Aku yang sedari tadi tidak mengucapkan sepatah katapun, tidak berani menatap ke arah dokter Anton. Aku tidak tahu apa yang ku rasakan saat ini, tapi yang jelas aku masih kesal dengan sikapnya tadi siang yang tidak berusaha menyelamatkanku dari pertanyaan sahabat-sahabatnya di depan banyak orang dan membiarkanku dipermalukan oleh mereka. Aku memilih diam sambil terus mengaduk makananku.

"Dinda" ucapnya lagi. Aku masih tetap sama, diam tak menjawab panggilan darinya.

"Loh Iel mami cari-cari ternyata kamu ada disini. Eh bentar-bentar, mami pernah ketemu mereka. Nak Dinda?" ucap ibu tadi yang ternyata adalah ibu dari seorang Dokter Anton. Mendengar namaku yang dipanggil, akupun segera menoleh ke arah suara itu.

"Eh Ibu? Iya ini Dinda." Jawabku canggung.

Jadi ini toh anak ibu itu, ternyata dia seperti ini karena trauma dengan wanita. Batinku masih mencoba memahami keadaan saat ini.

"Loh jadi Iel, kamu kenal sama nak Dinda? Kok ga cerita-cerita ke mami sih." Tanya si ibu kepada Dokter Anton. "Kenal mah, Dinda salah satu koass di rumah sakit." Jawabnya yang lagi-lagi datar.

"Wah,sepertinya doa yang tadi dikabulkan ya Nak Dinda, ibu bahagia sekali." Ucap ibu itu, yang hanya kubalas dengan senyuman singkat, tidak mau memperpanjang topik bahasan ini.

"Yasudah Iel, kalau masih ada yang mau diomongin, mama mau beli kue dulu ya, kamu lanjutin aja sama Dinda." Ucap ibu tadi kepada anaknya. Aku yang merasa tidak enak langsung menatap Citra meminta pertolongan. Tapi sepertinya kode yang kuberikan tidak di terima dengan baik oleh Citra dan kini ia malah pamit hendak ke toilet ingin mencuci tangan katanya. Well padahal di dekat sini ada wastafel untuk mecuci tangan, kesalku dalam hati.

 "Eh iya, saya juga mau ke toilet dulu ya, dokter Anton duduk disini aja, saya pamit ke kamar mandi dulu, hehe." Ucapnya mempersilahkan dokter Anton untuk duduk di tempatnya, dasar tidak tau malu, bekas makanannya kan belum dibersihkan, dasar Citra malu-maluin aja emang.

Dan setelahnya hanya tersisa aku dan Dokter Anton di meja ini. Kondisi saat ini super canggung, tidak ada yang memulai pembicaraan, sampai akhirnya "Dinda saya minta maaf." Suara dokter Anton kembali menginterupsi indera pendengaranku. Lagi-lagi aku tidak menjawab perkataannya dan memilih untuk diam. "Dinda kamu boleh marah sama saya tapi jangan mendiamkan saya seperti ini." Ucapnya frustasi.

Sebelumnya tidak pernah aku melihatnya seperti ini. "Kenapa Dokter harus minta maaf? Buat apa juga saya harus marah, Dokter tidak salah kok.Maaf kalau saya sedikit kekanakan." Jawabku akhirnya, tanpa memandang ke arah Dokter Anton.

"Dinda tatap saya, jangan mengalihkan pandangan seperti itu, ini membuat saya merasa bersalah kepadamu." Ucapnya lagi. Dan mau tak mau aku pun mentap ke arah Dokter Anton.

"Saya tahu saya salah, saya tidak bermaksud mempermalukan kamu di depan orang banyak tadi, saya juga sudah menegur Bara,Rio,Arkan, dan Farhan tadi. Saya hanya bingung bagaimana cara saya melindungimu dari mereka semua, saya takut jika perkataan saya salah dan justru itu akan lebih memperburuk keadaan. Itu kenapa saya hanya diam saja tadi." Ucapnya yang amat sangat panjang. Belum pernah aku melihat orang yang ada di hadapanku berbicara sepanjang ini, kecuali saat menerangkan. Aku hanya diam saja, bingung harus menjawab apa. Jujur saja aku tidak marah kepadanya, hanya sedikit kecewa, memang aku terlalu kekanakan, tidak bisa memposisikan diriku dalam keadaan seperti ini.

"Dinda tolong jangan diam saja, katakan apa yang saya harus lakukan supaya kamu tidak diam saja seperti ini, jujur saya sangat frustasi memikirkan kamu hari ini." Ucapnya yang lagi-lagi berhasil membuatku kembali menegakkan kepalaku, mengarah kepadanya. Apa maksud dari perkataannya, benar-benar membuatku pusing. Sudahlah aku sudah lelah. Batinku.

"Sudah dok, dokter tidak salah, saya hanya ingin pulang sekarang, jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan, saya ingin izin pulang sekarang, permisi." Ucapku kemudian dan langsung berdiri meninggalkan dokter Anton yang bahkan belum menjawab perkataanku.

Belum sampai aku melangkah, tanganku berhasil dicekal olehnya. "Ayo, biar saya antar kamu,biar besok saya tidak kebingnungan mencari alamat kamu untuk menjemputmu." Tawarnya, dan tentu saja kutolak, ya kali sudah bersikap kekanakan di depan dia, masa pulang juga masih mau dianter sama dia. Gini-gini juga urat maluku belum putus seperti Citra.

"Tidak perlu dok, lagipula kan dokter sama ibunya, saya ngga enak ganggu." Tolakku.

"Tidak, barusan saya di chat mami, bahwa mami telah dijemput sopir. Dan kalau Citra, saya tahu kalau dia sudah pulang, tadi saya melihat Randi jalan dengan Citra di depan situ" Ucapnya sambil menunjuk tempat yang ia maksud.

Duh alasan apa lagi nih aku? Wah gak bisa aku gak mau pulang bareng dokter nyebelin ini, gak gak, pokoknya gak mau.

"Tidak usah pak beneran, saya bisa pesan ojek online." Tolakku lagi entah untuk yang kesekian kalinya.

"Ini sudah malam Dinda, bahaya kalau kamu memaksa untuk naik ojek online. Saya tidak ingin kamu kenapa-napa. Tolong dengarkan dan turuti saja apa kata saya." Ucapnya dengan suara rendah, sangat terlihat bahwa dia frustasi saat ini.







Don't forget to vote and comment guys, thankyouu, luvvv <3<3<3 abis ini bakalan update lagi, so stay tune yaah ;)

Secangkir Kopi dan sepotong Red Velvet CakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang