PLAK!
Satu tamparan keras mengenai pipi kiri Bara. Mata Mamanya—Aurora—menatap nanar sang putra. Terlihat jelas wanita berumur 40 tahun itu sedang menahan tangis. Ia menggeleng-gelengkan kepala setelahnya sementara bola mata Bara melihat ke bawah. Tubuhnya membeku dan mulutnya terbuka karena terkejut.
"Bu, tolong bicarakan dengan kepala dingin," ujar Mirna, mencoba menenangkan Aurora yang benar-benar memanas.
"Kamu?!—Mama enggak nyangka kamu bisa ngelakuin ini semua, Bara. Mama udah berusaha buat didik kamu biar jadi anak yang baik. Tapi kenapa yang Mama dapetin justru kabar kayak gini? Terus di kamar kamu..." Aurora menggantung kalimatnya, bibirnya bergetar dan air matanya mengalir, "di kamar kamu... kenapa bisa ada foto cewek tanpa busana di laci meja kamu?"
Kepala Bara mendongak, menatap Aurora heran. Keningnya mengerut dalam dan ia pun menggelengkan kepalanya. "Ha... hahaha. Ternyata udah seniat ini, ya." Bara tertawa pahit, menunduk sekali lagi. Suaranya begitu kecil, mirip gumaman sehingga orang lain tidak dapat mendengarnya.
"Bara!" seru Aurora.
"Semua itu bukan punya Bara, Ma...," lirih Bara. Tatapannya berubah sendu. Matanya bertemu dengan Mata Aurora yang telah berkaca-kaca. Pipinya basah.
"Terus siapa? Dan kenapa kamu nyimpen barang orang yang bukan milik kamu?" selidik Aurora.
"Bara enggak tau kenapa foto itu ada di kamar Bara. Mama enggak percaya?"
"Jelasin. Gimana caranya Mama bisa percaya kalau semua bukti mengarah ke kamu?"
Bara tidak menjawab, kepalanya kembali menunduk. Mirna menyuruh Aurora duduk, dan menenangkan dirinya. Aurora menyenderkan kepalanya ke kursi sedangkan Kayla—Mama Kenzo memandang malas Aurora.
"Udah jelas kan siapa yang salah? Jelas-jelas anak itu cuma bawa-bawa anak saya yang enggak ada sangkut pautnya. Harusnya sekolah lebih tegas menyangkut hal seperti ini. Ini pencemaran nama baik. Saya enggak terima. Saya minta agar anak ini diberi hukuman yang tegas," ujar Kayla, menatap tajam Bara yang masih menunduk lalu beralih ke arah Mirna yang tersenyum ramah.
Mirna refleks menoleh begitu Antoni masuk. "Bagaimana, Pak?"
Antoni menggeleng lemah. Ia mengembuskan napasnya lambat. "CCTV-nya enggak berfungsi sejak bulan lalu, belum diganti."
"Hani." Bara mendongak, sedang semua yang berada di ruangan itu refleks menoleh. "Kenapa enggak tanya Hani? Dia ada di salah satu foto porno itu," kata Bara.
Mirna mengangguk kecil lantas mengalihkan pandangannya ke Antoni. "Pak, tolong panggil Hani di kelas sembilan D," titah Mirna.
"Baik, Bu," balas Antoni, mengangguk paham.
"Saya minta kalau setelah ini anak saya dinyatakan tidak bersalah, dan sama sekali tidak terlibat, Bara harus dihukum," pinta Kayla penuh penekanan.
Tidak sampai sepuluh menit, Antoni kembali dengan Hani yang mengekor di belakangnya. Sangat sulit bagi Mirna untuk menanyakannya. Sementara tatapan Kayla sudah sangat memojokkannya. Hani terlihat tegang, tangannya mengepal, gemetar. Cewek dengan rambut dikucir ekor kuda itu mengulum bibirnya.
"Apa benar kamu... pacar Kenzo?" tanya Mirna, ragu.
Hani terdiam tapi tidak lama ia mengangguk kaku. Sementara itu, Kenzo menatapnya tajam hingga tubuh gadis itu seakan mati rasa. Jelas, akan ada ancaman jika ia mengatakan yang sebenarnya. Jadi, Hani meralat dengan menambahkan, "Sudah sejak lima bulan lalu. Tapi bulan lalu kami putus."
Mirna mengangguk paham. "Bagaimana biasanya kalian—"
"Apa kau pernah mengirimkan foto telanjang pada Kenzo?" potong Kayla yang sudah tidak sabaran. "Apa kau pernah menunjukkan tubuhmu padanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Really a Bad Boy?
JugendliteraturBara tertangkap basah menyimpan ratusan foto dan video porno yang sebenarnya bukan miliknya. Semua orang menuduh, memaki, bahkan orangtuanya memutuskan untuk mengusir Bara dari rumah. Saat SMA, Bara berubah total. Ia bergabung sekaligus menjadi ketu...