Sena berani bertaruh kalau semua hal yang Bara katakan padanya tadi, jelas hanya sebuah bualan tanpa dasar. Verrel tiba pada pukul 13.05 dengan sebuah vespa merah mengilat dan helm bogonya. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri begitu helmnya terlepas. Rambutnya mengembang, disisir rapi.
Penampakannya sama sekali tidak mencerminkan ciri khas cowok nakal psikopat seperti Bara dan teman-temannya. Pesona Verrel dengan senyum dan lesung pipinya yang khas kontan membuat Sena terpana. Cewek itu berusaha terlihat sebisa mungkin, ia hanya tersenyum tipis begitu Verrel menyodorkan helm padanya.
"Ayam bakar gimana?" tanya Verrel setelah Sena menaikki vespa merahnya.
Sena mengangguk. Dengan begitu, motor Verrel melaju dengan kecepatan sedang. "Pegangan Sena!" pekiknya lantas menaikkan kecepatannya tiga kali lipat.
"Kekencengan, Rel!" seru Sena di telinga Verrel.
Cowok itu tertawa kecil. "Enggak pa-pa biar lo bisa pegangan erat-erat sama gue!"
Dan Sena, tetap tidak merasa bahwa kecepatan motor Verrel melebihi batas normal. Ia menikmatinya karena otaknya berpikir dia akan baik-baik saja saat bersama Verrel. Tidak akan terbesit di pikirannya bahwa kebut-kebutan di jalan raya termasuk pelanggaran lalu lintas.
Karena dia telah jatuh cinta sekaligus mendapatkan rasa aman dan nyaman. Sisi buruk Verrel—bagi Sena—tidak ada.
(sena kamu goblok nanti kena tilang, bayar :')
Vespa Verrel terparkir di sebelah kanan perapatan jalan. Keduanya turun dan Verrel melepaskan helm yang dipakai Sena sampai membuat darah cewek itu berdesir. Verrel tersenyum lebar, lantas mempersilakan Sena untuk masuk lebih dulu.
Mereka duduk di dekat jendela yang hanya terpaut lima meter dari pintu masuk. Duduk berhadapan sambil sesekali memerhatikan jalanan yang kian terbakar panas matahari.
Seorang pelayan wanita 30-an datang dan menanyakan pesanan mereka. "Paket duanya dua, ya." Verrel yang menjawab. Paket dua berisi ayam bakar, nasi, dan es teh manis.
Verrel tersenyum lebar pada Sena, menatap mata gadis itu lekat-lekat. "Mulai sekarang, panggil gue Ketua, Na!" Deretan giginya tampak, senyumnya tampak teduh. "Setiap ketemu gue, panggil gue dengan sebutan 'Ketua'. Selamat pagi, Ketua! Halo, Ketua! Dadah, Ketua!"
"Norak banget lo!" Sena tertawa kecil. "Bukannya keren, malah kesannya lo tua banget. Ketua. Kakek tua maksudnya?" kelakar Sena.
"Kalo Ketua berarti kakek tua, Wakil Ketua apa?" Verrel tertawa, berpikir sambil bergumam. "Oh! Wanita dekil kakek tua! Artinya, lo bakal menua bareng sama gue dong?" Verrel menyeringai.
Sena tertawa. Bukan karena lucu, tapi lebih untuk menutupi perasaan malunya. Bukankah itu terdengar seperti ajakan hidup bersama? "Sialan!"
"Lo manis banget kalo ketawa, Na. Ya, dari dulu, sih," kata Verrel sontak membuat wajah Sena memanas.
Pesanan mereka datang di saat yang tepat. Sena langsung mengaduk gula yang terkumpul di dasar gelas, lantas meminumnya.
"By the way, minggu lalu kenapa? Dari kemaren gue pengin nanya langsung sama lo enggak jadi mulu." Verrel mengaduk es teh miliknya. "Kok bisa lokasi lo ada di markas Klandestin? Lo beneran ke sana? Lo enggak pa-pa, kan? Gue udah nyoba masuk enggak dibolehin. Pas gue tanya ada cewek yang masuk ke markas enggak, mereka jawab enggak." Netra Verrel berubah serius, menatap bola mata Sena lekat-lekat.
Sena terdiam lalu menggeleng cepat. "Enggak pa-pa! Kayaknya lokasinya salah deh. Gue aja enggak tau letak markas Klandestin. Waktu itu gue... gue tersesat, iya tersesat! Gue pergi ke GI, terus bingung pas mau pulang. Terus kayaknya ada yang salah di pengaturan aplikasinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Really a Bad Boy?
Teen FictionBara tertangkap basah menyimpan ratusan foto dan video porno yang sebenarnya bukan miliknya. Semua orang menuduh, memaki, bahkan orangtuanya memutuskan untuk mengusir Bara dari rumah. Saat SMA, Bara berubah total. Ia bergabung sekaligus menjadi ketu...