07 - Amarah

238 29 27
                                    

Nyawa Sena berada di awang-awang. Gadis itu baru tidur pukul lima dan terbangun pada pukul tujuh pagi. Matanya benar-benar sembab akibat menangis semalaman. Bukan, bukan menangis ala orang patah hati. Tangisannya lebih mirip raungan kepedihan akan takdir sialnya.

Cewek itu bangkit dari tempat tidur, mengambil peralatan mandi dan segera pergi ke kamar mandi. Nyalinya langsung ciut begitu mengingat perkataan Bara tadi malam. Benar, dia bukan lagi Bara yang membuat Sena iri setengah mati karena wajahnya yang berseri.

Saat SMP, Sena benar-benar tidak memedulikan penampilannya, ditambah dengan menjabat sebagai Ketua OSIS, penampilannya jadi makin berantakan. Di kelas sembilan, Sena benar-benar merawat diri meski kantung matanya masih tampak jelas akibat sering begadang demi belajar untuk ujian.

Seusai mandi, Sena berdiri di depan cermin persegi panjang besar di hadapannya. Kos-kosan milik tantenya memang terbilang kelas atas dan lebih pantas disebut asrama, mungkin.

Hal yang sudah menjadi rutinitas paginya adalah menggunakan skincare. Sena menatap wajahnya lekat-lekat di cermin. Kemudian, matanya beralih menatap bibir yang telah dinodai Bara sampai membuatnya kesal setengah mati. Jelas-jelas, itu pelecehan! Tapi setelah tadi malam menonton beberapa-beberapa video YouTube mengenai kapan orang-orang kebanyakan ciuman pertama kali, ia terkejut sendiri. Tapi tetap, ciuman itu bukan kemauannya dan... dan... Sena tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Melaporkan pacarnya sendiri?

Sena membuka tutup sabun cuci muka, melirik ke kiri dan kanan lalu mengembuskan napas lambat. Jangan lagi, jangan, jangan, enggak penting, jangan—

"Halo guys, balik lagi sama gue, Sena Adelaide! Jadi kali ini gue bakalan ngasih tau kalian skincare rutin gue. Pertama sabun cuci muka...."

Dan cewek itu terus berbicara sendiri.

Setelah melakukan semua rutinitas paginya, Sena kembali ke kamar, memasukkan beberapa benda ke dalam ransel biru tua kecilnya. Dompet, deodoran, ponsel, novel, dan beberapa permen.

Ia menyabet jam tangan birunya yang tergeletak di atas kasur lalu memakainya di tangan kiri. Pukul 07.40. Sena memakai topi yang juga berwarna biru—karena biru adalah warna kesukaannya—lalu memakai sepatu Converse yang berwarna biru cerah. Setelah mematikan lampu, Sena segera bergegas. Langkah kakinya begitu cepat saat menuruni tangga.

Hanya butuh dua puluh langkah untuk sampai ke depan pagar rumah Bara dari pagar kos-kosannya. Pagarnya terbuat dari kayu yang memanjang ke atas. Berkali-kali Sena memencet bel tapi tidak ada hasil. Jadi, gadis itu memutuskan untuk menelepon Bara untuk menghemat waktu. Tunggu—

Bara belum mengiriminya pesan dan Sena tidak mengetahui nomornya. Cewek yang dikucir kuda dengan beberapa anak rambut berjatuhan itu hanya bisa menghela napas pasrah, tersenyum pahit. Lagi-lagi, telunjuknya memencet bel.

07.50 dan masih tidak ada jawaban. Cewek itu mulai gemetar, takut kalau Bara mengira justru dia yang datang terlambat. Sena memberanikan diri masuk ke dalam. Pagarnya tidak terkunci. Tangannya mengetuk pintu keras-keras tapi tetap tidak ada jawaban.

07.58. Tubuhnya menegang, gemetar. Dengan sedikit keberanian, Sena mencoba membuka pintu yang ternyata juga tidak terkunci. Ia masuk dengan hati-hati. Kakinya refleks berjinjit entah untuk apa.

Matanya mengerjap berkali-kali begitu menemukan Bara yang terkapar di atas sofa. Terdapat dua botol alkohol dan gelas kaca yang pecah di lantai. Asbak rokoknya tumpah dan puntung rokoknya tergelatak di atas meja. Cahaya matahari yang masuk dari kaca di belakang televisi sukses mengenai wajah Bara yang memerah.

"Bau alkoholnya...," gumam Sena. Ia sangat membenci bau-bauan semacam ini. Gadis itu menutup hidungnya dengan satu telapak tangan dan mendekat ke arah Bara.

Are You Really a Bad Boy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang