12 - Alasan

150 20 3
                                    

Tiap pijakan kaki cewek dengan rambut dikucir asal itu terdengar nyaring. Langkahnya tergesa sedang mimik wajahnya datar. Siswa-siswi sekitar yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing sampai menatapnya.

Sena mengetuk pintu ruang guru yang berwarna cokelat, cepat dan langsung masuk ke ruangan ber-AC tersebut. Orang yang ingin ditemuinya adalah Jeno, guru bahasa Indonesia sekaligus salah satu pembina OSIS.

"Pak, kok Bapak tiba-tiba jadiin Bara jadi bendahara? Padahal dia aja enggak daftar dan enggak masuk kriteria," ungkapnya tanpa berbasa-basi.

Jeno menoleh, mendongak dari meja kubikelnya. "Bapak tahu betul potensi Bara. Dan tidak masalah jika dia tidak bisa memenuhi satu kriteria."

"Dari mana Pak Jeno bisa tau? Dia aja anak IPS, Pak... masa malah dijadiin bendahara? Kasian juga yang udah capek-capek daftar dan ikut tes masuknya." Kening Sena mengerut. Bukannya ia mengeliminasi anak IPS, hanya saja ia tahu Bara tidak berhak mengambil kesempatan orang lain yang telah berjuang. Sena membuat alasan.

"Saya Pamannya." Dua kata itu benar-benar membuat Sena mematung.

"... Enggak bisa gitu dong, Pak! Pilih kasih namanya! Saya bakal lapor Kepala Sekolah!" ancam Sena, langsung berbalik dan meninggalkan ruang guru.

"Sena!" Percuma, seruan Jeno tidak akan sampai ke telinganya. "Bisa kena masalah, nih...," gumam Jeno pelan.

Gadis itu membenarkan rambutnya, mengatur napas lambat-lambat sebelum masuk ke ruangan Kepala Sekolah. Hubungan Sena dengan pihak sekolah memang terbilang dekat dan meski baru beberapa bulan beberapa di sini, mereka sudah mengenal Sena.

"Siang, Pak...." Sena tersenyum tipis.

Jeremy mendongak, balas tersenyum. Laki-laki paruh baya itu memang membebaskan siswa-siswi untuk menemuinya khusus di jam istirahat pertama. Tujuannya agar Jeremy dapat mendengar keluhan-keluhan mereka dengan telinga sendiri, sekaligus guna membangun keharmonisan dengan para murid.

"Ya, selamat siang juga, Sena. Ada apa?" jawabnya ramah.

Sena mendudukkan dirinya, duduk berhadapan dengan Jeremy. Gadis itu menarik napasnya dalam lantas berkontak mata dengan Jeremy. "Saya mau melapor bahwa ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh guru di sekolah ini, Pak."

"Penyalahgunaan wewenang? Wah, sangat tidak bisa dibiarkan, tuh." Entah kenapa, kata-kata dan nada suaranya benar-benar tidak mirip seorang Kepala Sekolah, lebih ke siswi yang suka merumpi di koridor. "Siapa yang melakukannya? Dan penyalahgunaan wewenang seperti apa yang dia lakukan?" Tatapannya berubah serius. Mereka terus berkontak mata.

"Pak Jeno, guru bahasa Indonesia. Karena dia Pamannya Bara, dia seenaknya menjadikan Bara sebagai bendahara OSIS, padahal sebelumnya Bara enggak nyalonin, Pak." Tatapan Sena tidak kalah serius, gadis itu tidak berkedip sama sekali.

"Ah, saya kira apa...." Jeremy menghela napasnya, lantas bersender di kursinya. "Saya yang minta Bara menjadi bendahara OSIS. Kamu tidak perlu khawatir, dia akan menjadi penerus perusahaan Papanya. Ilmu keuangan sudah jadi keahliannya. Dan... saya Kakeknya Bara."

"Ha?!" Netra Sena melotot, ekspresinya benar-benar menunjukkan kalau ia sangat terkejut. "Ha-ha... baik, Pak. Saya permisi." Sena tertawa pahit, berdiri lantas keluar dari ruangan. Hanya ada kekosongan di matanya. Cucunya psikopat. Keluarganya nepotisme.

- • -

"Gila! Kok lo bisa tiba-tiba jadi bendahara OSIS, Bar?" tanya Aji dengan mata berbinar. Mereka masih memakai seragam sekolah, berkumpul di markas seperti biasa. "Wah jangan-jangan gara-gara Sena? Beneran demen lo?" selidik Aji, poninya tambah panjang hingga mengenai mata.

"Bara? Bucin? WAHAHAHA!" Jayus tertawa renyah, sementara yang lain masih menatap Bara penasaran. Bara hanya menatap Jayus datar. "Oh, bukan, ya...," gumam Jayus, menciut.

"Topeng aja," jawab Bara singkat, padat, dan sangat amat tidak jelas. Cowok yang tengah sibuk dengan buku sketsanya itu berdecak setelah mendapati wajah teman-temannya yang bego. "Jelasin, Sam."

Bukan karena Samuel paham, melainkan karena semalam Bara sudah menjelaskannya lebih dulu melalui pesan. Cowok dengan rambut disisir rapi itu nyengir—tersenyum angkuh.

"CEPETAN ANJING!" Satu kaleng minuman kosong terlempar hingga mengenai dada Samuel. Siapa lagi kalau bukan Awan.

"AH! Satwa bacot bener," timpal Samuel. Cowok itu mendesis lantaran masih sakit terkena ujung kaleng. "Susah ya, punya temen bego. Atau IQ gue aja yang ketinggian?"

Rasanya, Awan ingin sekali merobek mulut cowok yang tersenyum lebar itu.

"Sebelumnya gue sama Bara udah nyari tau soal Kenzo. Ternyata cowok itu anggota OSIS yang terkenal sangat-sangat baik dan teladan. Takutnya, karena sikap kita yang terkenal mengekang bakal jadi masalah dan akan ada orang yang mikir itu cuma tipu muslihat kita.

"Karena keluarga gue berkiprah di dunia komputer, pasti bakal ada yang mikir 'ah, paling videonya diedit' dan semacamnya. Dengan adanya Bara di OSIS, apalagi sebagai bendahara, kita bakal lebih mudah mendapat kepercayaan orang-orang. Apalagi Sena Wakil Ketua OSIS juga, kan."

"Lo mau ngelibatin Sena?" potong Ayres.

Samuel makin memperlebar senyumannya. "Enggak lah, rendahan banget gue sama Bara jadi cowok!" Suaranya berubah kesal. "Tapi kita bakal jelasin rencana ini ke Sena pas lomba balap Dadevil.

"Berhubung dia mantan Ketua OSIS di sekolah yang sama dengan Bara san Kenzo, dan juga Wakil Ketua OSIS di SMA kita, Sena bisa jadi saksi yang cukup valid. Otaknya juga enggak bego, ya kan. Di tempat les aja dia aktif banget, anak olimpiade juga. Karena statusnya pacar Bara, pasti orang-orang bakal mikir dua kali buat enggak percaya sama kita."

"SAMA AJA LO MANFAATIN SENA, TOLOL!" sembur Awan, tanpa kaleng.

"Konteksnya beda, goblok!" Aji yang menyahut. Cowok yang sudah muak mendengar semburan Awan itu pun melemparkan kaleng hingga terkena dahi Awan dengan sempurna. "Mampus."

Awan meringis. "Ah, babik!"

"Dadevil udah bales emailnya. 15 orang yang bakal ikut balapan." Ayres menjeda sementara Aji, Awan, Bara, Jayus, dan Samuel menoleh. "Besok bikin data kesehatan anggota, Ji."

"Panggil yang lain. Lima menit," titah Bara pada Jayus. Dengan sigap, cowok itu langsung menurut dan memanggil yang lain.

Tidak sampai lima menit, 35 orang telah berkumpul di satu ruangan. Belum semuanya. Masih ada beberapa yang belum datang ke markas.

"Mulai besok jangan ada yang minum-minum dulu, optimalkan tubuh kalian sebaik mungkin. Jaga kesehatan. Paham?"

"PAHAM!" Seluruh orang yang berada di ruangan itu menyahut. Kecuali Bara tentunya.

Beginilah, Klandestin dengan segala perhitungannya. Dan sebenarnya, banyak sisi lain yang tidak pernah diketahui orang lain. Seperti namanya, Klandestin. Secara rahasia. Diam-diam.

- • -

Entah kenapa gua demen banget nulis cerita yang tokohnya "mikir" gini.

VOTE dan KOMEN kalau suka dengan ceritanya! :)
SHARE JUGAA YA HEHEHEHE!

Are You Really a Bad Boy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang