Bara terbangun pada pukul tiga pagi. Cowok itu memegang dahinya yang hangat. Pasti baru diganti beberapa menit lalu. Dia berdiri, berusaha tidak menimbulkan suara dan berjalan ke arah Sena. Bara berjongkok, menundukkan kepalanya, memerhatikan wajah Sena yang mengerut. Cewek itu terlihat kepanasan dengan keringat yang mengalir di dahi dan pelipisnya.
"Padahal lo sendiri yang ngasih gue harapan," bisiknya pelan. Saat tahun terakhir Bara di SMP, dia selalu memerhatikan Sena. Namun ketika SMA ditambah bergabung dengan Klandestin, Bara mulai melupakan gadis itu. Dan sekarang, takdir mempertemukannya lagi. Meskipun dia belum yakin akan perasaannya. Bara berpikir kalau dia hanya penasaran. Sangat penasaran dan selalu ingin tahu segala hal tentang Sena.
Alasannya? Tidak ada.
Padahal cowok itu sangat membenci sesuatu yang tidak berdasar.
Atau sebenarnya ada, hanya saja dia tidak mau mengakuinya?Bara menyelipkan anak rambut Sena ke belakang telinga, tersenyum tipis dan kembali menatap gadis itu datar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Najis, alay, batin Bara, jijik akan tindakannya barusan.
Dengan hati-hati tangannya bergerak, melingkarkannya ke punggung Sena lantas mengangkatnya perlahan. Sepertinya gadis itu benar-benar sudah kelelahan sehingga tidak menyadari tubuhnya yang terangkat.
Bara membawa Sena ke kamarnya, meletakkan tubuhnya pelan-pelan di atas ranjang besarnya. Cowok itu menyalakan AC hingga menyentuh angka 18 derajat lantas memberikan selimut pada Sena. Ia berjongkok di sisi kiri ranjang, memandanginya, tersenyum, lalu kembali berusaha menyadarkan dirinya. Jijik, batinnya, bergidik.
Apa lo punya kemampuan khusus buat naikkin hormon dopamine seseorang?
Senyuman kecil kembali mengembang dari kedua sudut bibirnya dan lagi-lagi, Bara mencoba menahannya. Cowok itu kembali berdiri, berjalan lambat dan akhirnya keluar, menutup pintu rapat setelah mengintip sekilas. Tersenyum lagi.
Ah, gila....
- • -
Sena melotot begitu terbangun dari tidurnya. Pertama, ia tidur di entah kamar siapa. Kedua, ia sedang menstruasi. Meskipun sudah hari-hari terakhir, tetap saja dia belum ganti pembalut sejak kemarin siang. Bodohnya lagi, padahal kemarin dia pergi ke mini market.
Ha... ha-ha.... Ha-ha-ha-ha-ha. Goblok.
Hanya ada satu cara. Dia harus segera kembali ke kosannya. Benar. Sena beranjak dari tempat tidur dan refleks berjinjit. Ia membuka pintu perlahan lantas keluar dari kamar. Gadis itu bisa melihat rambut lebat Bara yang timbul di balik sofa dari radius 10 meter.
Apa gue punya gangguan tidur dan enggak sengaja masuk ke kamarnya? pikir Sena lantas menggeleng cepat. Ia hanya butuh bertanya dan segera pamit.
"Udah baikan?" tanya Sena sambil mengambil tas punggungnya.
Bara menoleh dengan tatapannya tajam. "Udah. Mau ke mana?" selidiknya sembari melirik tangan Sena.
"Pulang," sahut Sena singkat. "By the way... kenapa gue bisa ada di kamar?" Alis Sena naik, menandakan bahwa ia penasaran.
Kontan Bara langsung memalingkan wajahnya, berpikir kritis. "Tiba-tiba lo jalan dan masuk ke kamar gue gitu aja. Ke psikiater sana," ketus Bara tanpa menoleh. "Dan, lo jangan pulang dulu. Ada yang perlu gue dan anak Klandestin omongin sama lo. Bentar lagi mereka sampe."
Sena mengulum bibirnya dan mengatai dirinya sendiri. Cewek itu berpikir bahwa dia memang harus pergi ke psikiater, atau paling tidak psikolog. Tapi mendengar Klandestin adalah berita yang lebih buruk. Sena menggeleng. "Gue harus balik sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Really a Bad Boy?
Подростковая литератураBara tertangkap basah menyimpan ratusan foto dan video porno yang sebenarnya bukan miliknya. Semua orang menuduh, memaki, bahkan orangtuanya memutuskan untuk mengusir Bara dari rumah. Saat SMA, Bara berubah total. Ia bergabung sekaligus menjadi ketu...