19 - Hujan dan Orang Spesial

122 9 0
                                    

Lima hari belakangan, hidup Sena berjalan dengan sangat normal. Bara tetap menjemputnya meski tubuh Sena tidak diangkat lagi karena gadis itu menolak dengan tegas. Saat serah terima jabatan OSIS pun Bara tidak membuat onar. Ternyata kemampuan baris-berbaris cowok itu cukup mumpuni sehingga tidak ada masalah yang terjadi.

Seluruh anggota Klandestin turut menyaksikan dengan damai. Totalnya ada 47 orang dan hanya berasal dari kelas 11 dan 12. Rencananya Klandestin baru akan merekrut anggota baru di awal tahun depan—saat masalah Kenzo benar-benar tuntas.

Sena berencana untuk ikut lomba cerdas cermat fisika bulan depan. Hari ini dia tidak pergi les dan menghabiskan dua jam untuk latihan soal di sekolah bersama dua orang lainnya. Aurel dari kelas 11 IPA 1 dan Clara dari kelas 11 IPA 4.

Kedua temannya sudah dijemput setengah jam lalu. Sementara Sena masih terpaku pada tumpukan soal di depannya. Rambutnya dikucir asal-asalan, sesekali ia akan menyingkarkan anak rambutnya yang berjatuhan mengenai matanya.

Hari ini hari Jumat dan hujan. Dan semakin deras. Namun earphones-nya berhasil menyamarkan suara tangisan langit.

Biasanya kalo di drama cowoknya bakal dateng, kan? Ngarep kalo Varrel bakal dateng tiba-tiba, enggak pa-pa kali, ya? Cewek itu bergumam sembari mendudukkan tubuhnya di ujung kiri kursi besi yang memanjang.

Earphones-nya memperdengarkan lagu Rely On Me oleh James Smith keras-keras. Di tengah sepi, gadis itu bersenandung.

You need someone to hold
Somebody to talk to
Keep playing the roles that we're not supposed to

You still rely on me
And I still rely on you
For things that we shouldn't
You still rely on me
And I'm doing everything
That I said I wouldn't

"AH!" pekik Sena begitu sebuah tangan menarik satu earphones-nya tiba-tiba. Cewek itu menoleh cepat, alisnya bertautan dan jelas ia kesal setengah mati.

"Suara lo jelek. Gak usah nyanyi." Suara berat yang sudah sangat tidak asing di telinganya.

"Ngapain ke sini?" tanya Sena ketus. Cewek itu kembali memasang earphones-nya, menatap lurus air hujan yang turun semakin deras.

Bara mendudukkan tubuhnya sekitar 20 sentimeter di sebelah Sena. "Jemput pacar gue lah," jawab Bara, dingin. Ia mengenakan jaket tebal. Cowok dengan rambut sedikit ikal yang disembunyikan di topi rajut birunya ini memang rentan dengan udara dingin.

"Oh... oke...?" Sena bingung menjawabnya. "Sejak kapan lo jadi—enggak jadi." Gadis itu kembali menekan kalimatnya, menelan saliva dengan terpaksa. Bukan tanpa dasar, mengingat Bara yang bersikap semena-mena dan mirip psikopat, seharusnya hal seperti ini tidak akan pernah terlintas di benaknya—repot-repot menjemput seseorang. Apalagi saat sedang hujan begini.

"Gue bukan psikopat. Lo aja yang lebay." Kontan Sena langsung menoleh. Ucapan Bara barusan seolah menunjukkan kalau dia bisa membaca pikiran lawan bicaranya. "Kalo gue kayak gini, apa lo bakal suka sama gue?" selidiknya, menatap lurus ke depan tanpa menunjukkan ekspresi sedikit pun.

"... Enggak. Lo yang begini berarti bukan lo yang asli, kan? Malah tambah nyeremin. Kepribadian ganda," sahut Sena apa adanya. "... Tapi, bukan juga berarti gue suka sama orang yang melakukan pelecehan."

"...Tapi lo suka sama orang yang kayak gitu," tembak Bara. Tentu saja yang ia maksud adalah Verrel. Kalimat terakhir Sena benar-benar menusuk hingga tulang rusuknya. Pupil Bara agak membesar, lantas pelan-pelan meredup, merenung.

Are You Really a Bad Boy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang