Part 2

61K 6.3K 1.9K
                                    

"seperti biasa, kamu hanya bisa menyakiti, tidak pernah sama sekali memahami."

-Irene-

...

Irene turun dari brankar. Mood-nya benar-benar hancur. Ini semua karena Algi, kenapa cowok itu tidak bisa membuatnya merasa bahagia bahkan sekali saja.

Hampir saja Irene mencapai pintu keluar UKS, namun sebelum itu, langkahnya terhenti karena suara dari cowok bermata sipit itu menginterupsi dirinya untuk berhenti.

"Irene!" Itu suara Algi. Dia menatap punggung sang pacar dengan datar.

Irene menghela napas sebelum akhirnya
berbalik. "Kenapa lagi?" tanyanya.

"Kalau kamu sakit, istirahat di sana, aku bisa jagain kamu dari sini. Kamu gak usah berkelakuan childish, Ara lagi sakit, harusnya kamu ngerti," ujar Algi dengan sedikit menekan kata 'childish'.

Irene mendekat, ingin sekali ia menjambak rambut Algi dan Ara bergantian. Entahlah, kenapa gadis itu selalu menyusahkan Algi, pikir Irene.

"Kita nggak tahu siapa yang childish di sini. Aku ... atau kamu."

"Aku yang selalu sabar disakitin, atau kamu yang nggak pernah ngertiin perasaan aku." Irene mendelik. Ia kemudian berbalik dengan tangan yang mengepal kuat. Ia tidak ingin emosinya meledak di sini. Ia memilih pergi saja.

"Jelas kamu yang childish, Irene!! Kamu nggak pernah mau ngertiin keadaan Ara. Kamu itu egois tau, gak. Pinginnya di perhatiin mulu! Dan seandainya aja tadi kamu gak nyegat aku buat nyamperin Ara, mungkin, dia nggak bakal kayak gini."

Irene hanya tersenyum kecut, setetes air mata mengaliri pipinya. Ia segera menghapusnya, ia bukan cewek lemah. Ia bukan cewek yang seperti itu sebelumnya, ia tidak pernah menangis karena seorang cowok. Tapi kenapa sekarang malah seperti orang bodoh.

Irene pergi, mengabaikan cerocosan Algi yang terus menyalahkan dirinya tanpa henti. Irene sebenarnya sangat ingin melepaskan Algi saja. Tapi apa daya, dia begitu mencintai Algi, ia tak akan bisa jika harus kehilangan Algi sepenuhnya, walaupun sebenarnya, dia tidak pernah merasa memiliki Algi.

...

Brakkk!!

Irene menendang pintu kelas dengan kasar. Seisi kelas melongo, ada yang menganga tidak percaya karena Irene begitu beraninya mendobrak pintu ketika pak Toni sedang mengajar.

"Irene goblok! Tuh anak emang cari mati, ya!" gumam Sintia kesal, Sintia sebenarnya ingin tertawa, tetapi jika dia tertawa, dia pasti akan ikut mendapatkan imbasnya.

Irene sebenarnya juga tidak sadar. Ia menutup mulutnya tidak percaya. Ia hendak berlari, tapi suara pria paruh baya itu menghentikan langkahnya.

"Berhenti di situ Irene Zeala Alandra!!" Pria paruh baya itu menghampiri Irene dengan sepotong kayu berukuran satu meter di tangannya.

Irene berhenti mematung di tempat, ia meneguk salivanya kasar. Tamat sudah, ia pastikan setelah ini dirinya akan diberikan hukuman sadis oleh pak tua itu.

Pak Toni memang sudah cukup tua, umurnya yang sudah berkisar enam puluh  itu membuat para murid cukup sungkan untuk melawannya. Katanya, takut kualat.

Pak Toni tergesa-gesa menghampiri Irene dengan kacamata yang bertengger di hidung serta sepotong kayu yang ia genggam di tangan kanannya.

"Dasar kurang ajar!! Sini kamu ikut Bapak!!" Pak Toni menarik telinga Irene dengan cukup kuat. Gadis itu meringis kesakitan sembari memegangi telinganya. Ia pasrah, mengikuti langkah pak Toni.

Tentang Irene [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang