Part 8

48.9K 4.7K 1.3K
                                    

Follow dulu akun Mami sebelum dibaca, oke:)

"Cinta dan luka, memang selalu datang secara bersamaan."

-Irene-

...

Suasana hening menyelimuti ketiga remaja yang sedang menikmati makanan yang ada dihadapan mereka masing-masing. Bukan karena canggung. Tetapi, karena ketiganya memang sama-sama diajarkan untuk tidak berbicara ataupun bercerita saat sedang makan.

Mereka adalah Irene, Sintia serta Latif. Tapi, bukannya segera menghabiskan makanannya, Irene justru menghayal dan mengaduk-ngaduk kuah bakso yang ia pesan sejak lima menit yang lalu.

Sintia menyadari hal itu. Sementara, Latif hanya sibuk dengan baksonya, ia melahapnya dengan buas. Mulutnya bahkan menggembung karena penuh dengan bakso.

"Woi, kenapa lo!" ucap Sintia akhirnya, jujur, ia tidak suka jika Irene sudah melamun seperti ini. Biarkan saja sekali-kali dia melanggar aturan saat makan.

Irene gelagapan, "G-gak apa-apa. Gue cuman kepikiran soal ulangan."

Sintia mengernyitkan dahinya. "Kenapa emang? Bukannya lo masa bodoh kalau soal ulangan? Yang penting, lulus, 'kan?" tanya Sintia kemudian kembali menyuapkan bakso ke dalam mulutnya.

Irene menggeleng pelan. "Bukan karena itu," sergah Irene dengan wajah lesu."Gue udah nggak punya duit lagi buat menuhin hidup ke depannya. Lo kan tahu, kalau gue udah nggak punya kerjaan," jelas Irene. Latif yang tadinya sama sekali tidak penasaran kini mendongak dan menatap Irene dengan kernyitan di dahinya.

"Lo, kerja?" tanya Latif setelah menelan sisa bakso yang ada di dalam mulutnya.

Irene mengangguk pelan sebagai jawaban,"Tapi, sekarang udah nggak lagi," ujarnya lalu menghela napas berat.

"Kenapa nggak lagi?" tanya Latif lagi.

"Karena--" Irene memotong ucapannya, ia berpikir sejenak."Karena gue udah nggak betah kerja disana,"ucapnya berdusta. Latif mengangguk paham.

"Kenapa lo gak bet--"

Sebelum Latif selesai melontarkan pertanyaan berikutnya, Sintia langsung memotong, menatap sinis ke arah Latif.

"Sejak kapan lo kepo sama urusan Irene?" tanya Sintia dengan nada dingin. Latif gelagapan sembari menggaruk tengkuk.

"Ya ... sejak dulu," lirihnya pelan sampai Sintia dan Irene tidak bisa mendengarnya dengan baik.

"Apa lo bilang?" tanya Sintia dengan raut keheranan, sementara Irene hanya diam tidak menanggapi.

"Sejak kapan lo kepo tentang gue?" tanya Latif kembali, seolah membalas pernyataan Sintia beberapa detik yang lalu. Sintia melotot.

"Sialan lo!"

...

"Aku pikir, biar aku sendiri aja yang minta maaf, Ra. Kamu nggak usah," ucap Algi pada gadis yang ada disampingnya. Dia Ara, gadis itu menghela napas pasrah lalu mengangguk pelan.

"Maaf ... aku gagal,"lirihnya pelan. Sontak Algi mengusap rambutnya dengan lembut.

"Kamu nggak salah apa-apa," ucap Algi seraya tersenyum manis."Lagian ... aku kan cowok, ini urusan aku sama Irene. Aku bisa selesein sendiri, kok."

Entah mengapa, ada rasa sakit yang menerpa hati Ara saat mendengar penuturan Algi. Itu memang bukan urusannya, melainkan urusan Algi dan Irene. Memang benar, 'kan? Lalu apa yang membuat hati Ara terasa seperti dicubit?

Ara menghela napas berat, Algi menyadari, dia sontak menyorot Ara kemudian bertopang dagu.

"Kenapa, Ra?"

Tentang Irene [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang