Part 6

48.7K 5.4K 1.5K
                                    

"Karena sumber luka paling banyak, adalah dari orang yang kita anggap istimewa."

-Irene-

...

Irene melangkah dengan kesal, wajahnya ia tekuk, padahal ini masih pagi, tapi Al sudah membuatnya badmood.

Sintia tak henti-hentinya memekik dari belakang, memanggil nama Irene, gadis itu tidak menghiraukan, ia justru lebih mempercepat langkahnya.

"Apa kan, gue bilang! Tuh anak emang udah tambah bego gara-gara si Algi brengsek itu!" Sintia mendengus kesal sembari mengejar Irene yang meninggalkannya diparkiran.

Brukk.

Irene meringis kala dirinya menabrak sesuatu yang  keras dari depan. Dia mendongak sembari mengusap pelan dahinya.

"Sorry," lirih Irene, ia membuang wajahnya lalu meninggalkan cowok yang baru saja ia tabrak.

Cowok itu adalah Al, ia mengerutkan dahinya. "Yaudahlah."

Sementara Sintia baru saja melewati Algi, gadis itu menatap sinis Algi, "Mati aja lo, gak usah hidup," umpat Sintia kemudian memasuki kelas dengan emosi yang berapi-api.

Irene membuang tasnya ke atas meja dengan kasar, ia mendengus, menatap Sintia dengan tajam.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?" tanya Sintia tak kalah sinis. Ia kemudian duduk di samping Irene.

"Tau, ah! Males gue. Kenapa juga, sih, gue harus jatuh cinta sama tuh cowok brengsek!" Irene menopang dagu, ia kemudian mengedarkan pandangannya. Sudah cukup ramai, hanya sisa satu atau dua orang saja yang belum datang.

Irene menangkap sosok Latif yang sedang duduk diatas meja sembari berteriak tidak jelas. Cowok itu memegang handphone di tangannya, seperti biasa, ia sedang bermain game.

Menurut Irene, Latif tidak lain hanyalah seorang cowok pengganggu, tukang ngorok, nyebelin, kerjaannya cuman makan--tidur--ngegame. Tapi tidak bisa ia tepis bahwa Latif memang cukup tampan, tapi, dia suka mempermainkan wanita, membuat Irene sama sekali tidak berniat untuk mendekati Latif.

Latif mendongak, ia merasa diperhatikan, ia menemukan Irene yang berada dua meter dari tempatnya, gadis itu menatap kearahnya.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu, gula aren!"

Irene tersentak, ia kemudian kembali menetralkan ekspresinya. Sintia yang ada disampingnya hanya memutar bola matanya malas, pemandangan seperti ini memang sudah tidak asing bagi dirinya. Bahkan hampir setiap hari kedua curut ini berdebat hanya karena hal sepele. Sintia juga heran sebenarnya, kenapa Latif sangat hobi menganggu Irene yang pemarah.

"Terserah gue lah, mau liatin apa! Mata-mata gue!" ujar Irene sinis. "Lagian lo kepedan banget, sih, jadi orang! Dari tadi gue liatin tembok, bukan lo!"

Latif menggoyangkan dagunya mengejek Irene. Memang seperti ini, ya, cewek kalau sudah ketangkap basah? Suka menghindar.

Sintia menutup telinganya, ia tahu persis seperti apa kejadian selanjutnya jika Latif tidak menyerah duluan. Sementara Irene sedang sibuk melepas sepatu dari kaki kirinya dengan tergesa-gesa.

Latif yang sedang duduk diatas meja, tepatnya di dekat pintu masuk kelas kini masih setia mengejek Irene dengan dagu yang masih terus ia naik turunkan sembari berkata 'Nyenyenye'.

Irene mengambil ancang-ancang, Latif melotot kala menyadari dirinya sedang dalam bahaya, "Woi, gil--

Bughh.

Sepatu yang Irene lempar melenceng dari sasaran, Latif sempat menghindar, hingga sepatu tersebut bukannya mengenai Latif tapi malah mengenai seorang gadis yang baru saja ingin masuk ke kelas dengan seorang cowok disampingnya. Irene panik, matanya melotot sempurna, sementara Sintia yang ada disampingnya pun ikut melotot.

Tentang Irene [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang