Part 19

36.5K 3.7K 776
                                    

"Sesungguhnya sangat menyakitkan, tetapi rasa penasaran mengalahkan semuanya."

-Irene-

***

Jika saja waktu itu Sintia tidak melontarkan beberapa kalimat itu, kalimat yang mampu mematikan jiwa seorang Irene, mungkin Irene tidak akan seperti sekarang. Kini dia sedang duduk di dekat jendela sembari terus memikirkan kalimat yang terus berputar di otaknya itu. Dia menatap sendu ke luar jendela, sudah tiga hari dia mengurung dirinya di dalam kamar.

Hal itu membuat Ala--kakaknya merasa begitu cemas, adik satu-satunya itu membuat dirinya kelimpungan hingga kehabisan akal.

Irene hanya keluar jika ingin makan atau mandi saja. Itupun saat kakaknya tengah lengah. Dia mengambil kesempatan dalam kesempitan. Selama tiga hari mengurung diri, selama itu pula ia tidak naik bersekolah. Hal itu yang semakin membuat Ala khawatir, takut jika sang adik di keluarkan dari sekolah karena ini.

"Zea ... keluar, Dek," ujar Ala dari luar dengan suara yang melemah. Irene tahu dia ikut tersakiti dengan sikapnya yang seperti ini. Irene bahkan tidak menceritakan apa pun pada Ala.

Dengan berat hati, Irene berdiri lalu berjalan dengan kaki yang cukup berat untuk digerakkan. Ia memutar gagang pintu--pintu terbuka--menampilkan sosok yang yang kini terlihat pucat memandangi Irene dengan wajah berbinar.

Dengan cepat ia menarik Irene ke dalam pelukannya. Memeluknya begitu erat, hingga membuat Irene sedikit sulit untuk bernapas. Sekejap Irene mengulum senyumnya, bersyukur karena masih ada Ala yang mau menyayanginya dengan tulus.

"Maafin Irene, Bang," lirih Irene dengan suara seraknya. Gadis itu melepaskan pelukannya lantas menunduk, ia sedikit ragu untuk menatap mata Ala.

"Adik kesayangan Abang kenapa, hmm? Apa ada yang nyakitin kamu?" tanya Ala dengan suara lembut, layaknya orangtua yang ingin mengetahui permasalahan anaknya.

Irene menggeleng, berusaha menyembunyikan kebohongan. Namun Ala sangat mengerti, ia bukan anak kecil yang bisa dibodohi.

"Abang bukan anak kecil yang bisa Zea bohongin. Sekarang mending Zea cerita atau nanti Abang sendiri yang turun tangan buat cari tahu masalahnya," tutur Ala. Irene sontak mendongak dan menatap Ala dengan gelengan kepala.

"Engga, Bang. Zea gak apa-apa. Zea cuman ada sedikit masalah, dan Zea bisa nyelesein itu sendiri," jelas Irene. Ala hanya menghela napasnya lalu mengangguk pelan.

"Okay, tapi kalau kamu malah ngurung diri kayak gini, gimana bisa Abang yakin kalau kamu mampu nyelesein semuanya sendiri?" Ala menangkup kedua pipi Irene dengan tangan besarnya. "Kita itu harus kuat, Zea. Jangan jadi manusia pengecut yang bisanya lari dari masalah. Kita tumbuh tanpa orangtua, harusnya kamu ngerti itu, kita harus mampu melakukan semuanya sendiri jikalau suatu saat semuanya pergi ninggalin kita."

Irene berkaca-kaca, tidak kuat mendengar penuturan Ala yang begitu mencubit hatinya. Perih, tetapi Irene harus menerima kenyataan bahwa dia memang harus menjadi wanita yang kuat, mandiri dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Seketika pikiran Irene tertuju pada seorang Key dan Algi. Keduanya tidak ada yang datang ke rumah Irene selama dirinya bolos sekolah. Apakah tidak ada di antara mereka yang merasa khawatir walau sedikit saja? Bahkan menelfon atau sekedar mengiriminya pesan saja tidak.

***

Ara duduk manis di ruang utama sembari menunggu kedatangan sang bunda dan adiknya--Ica. Sudah 4 hari mereka keluar kota dan meninggalkan Ara sendirian di rumah. Ayahnya hanya pulang sekali-kali, Ara paham, ayahnya mungkin sedang punya pekerjaan mendesak yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, Ara memaklumi itu. Hanya Algi yang selalu menemaninya setiap malam, tetapi sore ini dia izin pulang karena ibunya menelfon dan menyuruhnya untuk pulang.

Tentang Irene [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang