"Aku berjuang sendiri, mencinta sendiri, bahkan setelah mulut manismu memaki kelemahanku, aku masih tetap menganggapmu sebagai sang pengendali hatiku."
-Irene-
Seperti malam-malam sebelumnya, Irene kini tengah sibuk membenahi piring-piring kotor yang berserakan di atas meja. Ia memungutinya dengan hati-hati, melewati meja-meja yang kini masih cukup ramai pengunjung.
Masih pukul sembilan malam, itu artinya, harus menunggu dua jam lagi sampai pekerjaannya selesai. Irene menghela nafas lelah, namun walaupun begitu, Irene tetap memaksakan untuk tersenyum ramah kepada setiap pelanggan yang bertatap mata dengannya.us
Irene sebenarnya sudah cukup lelah, tapi mau bagaimana lagi, ini tanggung jawabnya, ia harus kuat, beban yang ia pikul lebih berat dari gadis remaja biasanya. Irene bukanlah tipe remaja yang suka menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting, berfoya-foya, atau bahkan berbelanja di mall seperti gadis remaja pada umumnya.
Hidupnya jauh dari kata sempurna, hanya sederhana, tapi baginya itu sudah cukup. Banyak orang yang kelebihan harta, tapi justru tidak bahagia sama sekali. Menurut Irene, lebih nyaman sederhana dan bahagia.
Irene tidak pernah menyesali dirinya lahir dari keluarga yang sederhana. Justru itu, yang membuat dirinya semakin kuat, mampu berpikir dewasa, tidak manja dan hidupnya bahkan tidak bergantung pada orang lain. Irene sudah merasakan pahit manisnya kehidupan di dunia. Lika-liku kehidupan Irene jalani dengan baik, ia selalu tabah, ini untuk dirinya, dan Kakak satu-satunya.
Setelah sekian menit melayani pengunjung yang tak henti-hentinya menyerbu ke dalam cafe Blue--akhirnya Irene bisa bernafas lega, masih ada tiga puluh menit sebelum ia menyelesaikan pekerjaannya.
Masih terlihat beberapa pengunjung yang duduk manis, Irene sesekali menyorot para remaja yang terlihat sangat bahagia bisa menikmati segalanya tanpa harus bekerja. Irene tidak iri, hanya saja, rasanya ia juga ingin merasakan sekali saja.
Sebenarnya, Sintia--sahabatnya itu sering mengajaknya untuk nongkrong ataupun jalan-jalan ke mall untuk belanja. Tapi Irene selalu menolak, baginya uang itu sangat penting, apalagi, Sintia masih memakai uang kedua orang tuanya. Sintia adalah satu-satunya teman dekat yang ia beritahu tentang pekerjaannya. Bahkan Al sekalipun tidak mengetahui hal ini, entahlah, Irene sendiri tidak berniat untuk menceritakan apapun pada cowok itu, toh, dia juga tidak pernah bertanya.
Lonceng pada pintu masuk cafe berbunyi, pertanda ada pengunjung yang baru saja memasuki cafe tersebut. Dan benar saja, bahkan sekarang Irene panik bukan kepalang ketika mengetahui siapa pelanggannya kali ini.
Irene mematung, tubuhnya kaku, bagaimana ini, mau tidak mau, ia harus tetap menghampiri setiap pengunjung untuk menanyakan apa yang akan mereka pesan.
Ia meneguk ludahnya kasar, ia mengatur nafas terlebih dahulu. Ia berani taruhan, jika Al mengetahui tentang dirinya yang bekerja, Al pasti tidak akan marah ataupun mencemaskan dirinya. Lalu, apa yang harus ditakutkan Irene?
Irene mengambil dua buku menu kemudian dengan kaki yang sedikit kaku berjalan menuju meja nomer empat, dimana Algi dan Ara tengah duduk manis berhadapan.
Kedua remaja itu terlihat asik membicarakan sesuatu, tidak menyadari kehadiran Irene. Irene berdehem kecil, membuat Ara dan Al berbalik. Irene menarik topinya lebih kebawah, menutupi wajah manisnya. Terserahlah jika sesudah ini Al ataupun Ara mengenalnya, yang penting dia sudah usaha.
Irene menyodorkan buku menu ke arah Al, cowok itu menerimanya dengan dahi mengernyit, "Emangnya Mba gak keganggu sama topinya?" Al mengangkat bicara, ia sendiri bahkan risih melihat cewek di depannya ini memakai topi hingga hampir menutupi seluruh wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Irene [END]
Teen FictionIni tentang Irene, gadis yang selalu dicampakkan oleh kekasihnya. Tidak ada perhatian atau perlakuan manis sedikitpun yang Irene dapatkan. Hanya luka, Irene sama sekali tidak merasakan adanya cinta. Al--pacarnya, sama sekali tidak memahami perasaan...