"Jika tidak ingin terluka, maka jangan coba-coba untuk jatuh cinta."
-Irene-
Follow akunku dulu sebelum membaca agar selalu mendapatkan notif dariku😗
***
Irene meneguk segelas air hingga tandas. Ia kemudian berdiri, meraih tasnya lantas berdiri.
"Bang, Zea berangkat dulu, ya." Irene menyalami tangan Ala. Kakaknya itu tersenyum hangat.
"Jangan lupa kata Abang tadi, ya. Nanti mampir ke rumah Sintia," ujar Ala. Irene mengangguk mengiyakan. Ala memang sudah mengetahui semuanya, Irene menceritakan kepada kakaknya bahwa dia lah yang menjadi penyebab dari menangisnya Sintia.
Berbanding terbalik dengan hati Irene, sebenarnya gadis itu tidak akan sudi untuk meminta maaf duluan.
Pagi ini, Irene berangkat menggunakan angkot. Sebenarnya semalam--Key--mengajaknya untuk berangkat bersama ia dan Rain. Tetapi, Irene menolaknya, ia mengatakan bahwa sudah ada yang akan menjemputnya.
***
Sintia memandangi pantulan wajahnya di cermin riasnya. Bekas tonjokan Irene masih membekas, bahkan masih terasa sangat ngilu. Pipinya jadi lebam, hal itu membuatnya sedikit tidak percaya diri.
Ia berdecak sebal, pasti nanti bundanya akan terus menanyakan perihal pipinya ini. Ia tidak suka dipaksa, ia tidak ingin menceritakan sesuatu yang akan menyakiti hati bundanya.
Ia menarik tasnya, kemudian beranjak dari kamarnya lantas turun ke bawah.
"Bun, Ayah mana?" Sintia bertanya. Zena refleks berbalik, tersenyum manis ke arah anaknya yang kini tengah menuruni tangga.
"Udah berangkat kerja barusan. Katanya ada meeting, jadi buru-buru," tutur Zena dengan lembut. Sintia hanya menanggapinya dengan anggukan. Ia kemudian menarik selembar roti yang sudah disiapkan oleh bundanya di atas piring.
"Shhh." Sintia meringis sembari memegangi pipinya. Sial, Sintia jadi kesusahan mengunyah. Padahal ia ingin berusaha menutupi rasa sakitnya agar tidak terus-terusan ditanyai.
"Kenapa, Sayang?" Zena terlihat cemas. Ia kemudian mendekati anak semata wayangnya, lantas menilik wajah Sintia.
"Semalam gak diobatin lukanya?" tanya Zena kemudian berkacak pinggang. Sintia geleng-geleng sembari menyengir kuda.
"Ya sudah, kamu tunggu di sini, biar Bunda ambil kotak P3K dulu."
Zena berlalu, Sintia menepuk jidatnya, ia kemudian berteriak. "Gak usah, Bun! Tia mau berangkat sekarang aja, byebye!"
"Sintia, tunggu Bunda dulu!"
***
Sinar mentari menyambut hangat sang pagi, seorang gadis cantik dengan wajah cerianya kini tengah bersiap-siap dengan seragam sekolahnya. Ia bersenandung kecil, headset putih menyumpal telinganya. Gadis itu kemudian meraih sepatu lantas memakainya lalu kemudian turun ke bawah.
"Dari mana aja kamu?" Suara dingin itu mengalihkan pandangan Ara, gadis itu kemudian tersenyum simpul.
"Maaf, Bun. Ara kemarin lagi di--"
"Lagi nginap sama cowok itu lagi?" Nima menebak. Perlahan senyum di bibir Ara memudar. Ica yang duduk di meja makan hanya sibuk mendengarkan, sementara Dika--ayahnya langsung berbalik, ia menemukan anak sulungnya.
"Nima, sudahlah. Biarkan Ara bicara. Jangan asal terka seperti itu," tutur Dika dengan lembut. Hati Ara yang tadinya serasa perih kini menghangat, memang hanya ayahnya yang paling mengerti dirinya sejak dulu. Jika ia bersama bundanya, ia merasa diperlakukan seperti anak tiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Irene [END]
Teen FictionIni tentang Irene, gadis yang selalu dicampakkan oleh kekasihnya. Tidak ada perhatian atau perlakuan manis sedikitpun yang Irene dapatkan. Hanya luka, Irene sama sekali tidak merasakan adanya cinta. Al--pacarnya, sama sekali tidak memahami perasaan...