tiga puluh enam

351 44 2
                                    

"Sini biar gue aja yang bawain."

Dirga ngambil paksa plastik berisi bungkusan gado-gado dari tangan gue. Gue yang kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba jadi cengo.

"Ih padahal gapapa tau, Dir. Gak berat juga," kata gue sambil nyamain langkah kakinya Dirga.

Dirganya cuman terkekeh doang, terus ngasih salam gitu buat orang rumah pas kita udah sampai di depan pintu rumahnya.

Rumahnya Dirga sederhana, tapi asri dan enak banget dilihatnya. Mungkin gara-gara tanaman hijau dan berbagai jenis pohon buah yang ditanam disini kali ya, jadinya bikin mata langsung seger pas ngeliatnya. Ditambah lagi cat rumah dan pagar yang serba hijau, bikin siapapun langsung paham karena warna hijau yang lekat banget kaitannya sama pekerjaannya bokap Dirga.

Cuman ada motornya Dirga yang terparkir, yang kesimpulannya, Ayahnya Dirga lagi gak di rumah. Entah karena tugas negara yang menjemputnya atau hal lain yang gue gak tau.

Suara derap kaki terdengar diiringi dengan jawaban salam yang gue kenal. Bundanya Dirga menyambut gue dengan ramah. Matanya yang ikut tersenyum bikin gue makin ngerasa kalo Dirga itu ternyata mirip sama Bundanya.

"Halo, tante," sapa gue sambil nyium punggung tangan beliau.

"Eh, kenapa manggilnya tante? Bunda kemaren nyuruh kamu manggil Bunda apa coba?" tanya Bunda Dirga sambil sedikit tertawa. Tangannya nahan tangan gue, terus ditepuk-tepuk gitu.

"Bunda, hehe," jawab gue sembari mengusap tengkuk. Malu dipegangin sama Bunda, mana anaknya ngeliatin gue sambil senyum-senyum lagi.

"Nah gitu dong," ucap Bunda dengan senyum yang terukir diwajahnya. "Kalian udah makan belum?"

"Udah, Bundaaaaa," jawab Dirga sambil ngasihin bungkus plastik tadi ke Bunda.

"Oh iya pesenan Bunda tadi. Makasih ya, Arya," kata Bunda terus dibalas Dirga dengan anggukan. "Ayo masuk dulu. Gak enak berdiri mulu."

"Iya, Bunda."

Dirga ngodein gue buat ikut masuk. Kita berdua jalan ngekorin Bunda deh. Terus gue disuruh buat duduk di sofa sambil nungguin Bunda bikinin minuman. Dirga gak ikut duduk bareng gue. Dia justru berdiri sambil celingukan kek anak yang tersesat di pasar.

"Kenapa, Dir?"

Dia nengok ke gue, terus wajahnya mendekat kayak mau ngebisikin sesuatu.

"Lo gapapa gak kalo gue tinggal bentar? Gue mau ngecas hp dulu di kamar, terus bantuin Bunda. Gapapa?"

Gue ngangguk. "Gapapa kok. Santai aja. Gue bakal duduk disini sampai lo dateng."

Dirga tersenyum lega, terus ngacungin jempolnya dan pergi ke kamarnya.

Ternyata itu yang dia khawatirin daritadi cui. Kirain apaan.

Mata gue menelusuri seluruh ruangan ini. Di bagian dalam rumah Dirga lebih ke nuansa vintage gitu, banyak banget barang-barang antik yang berjejer disini. Kebanyakan figura dengan gambar sosok Dirga di dalamnya. Dari Dirga masih bayi sampai sekarang. Ada juga piagam sama piala yang menuhin lemari kaca milik keluarga Dirga. Gue baca sekilas sih, tentang prestasinya Dirga dan rata-rata juara lomba nyanyi gitu.

Beneran nih anak. Sekarang gue ngerti kenapa di pertemuan pertama gue sama Dirga sifatnya terkesan sok berkuasa dan keliatan suka pamer gitu, ya emang karena patut buat dipamerin sih prestasinya yang segudang gini.

Kalau gue inget-inget, awalnya dia gak senyebelin itu. Dia cuman bersikap tegas, dengan tatapan yang terlihat agak tajam. Baru deh titik gak sukanya gue waktu dia mutusin buat ngehukum tanpa mau mengerti sama penjelasan kami.

Dirga ; [LDK] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang