Apa yang akan kamu lakukan ketika mengetahui bahwa laki-laki yang mengajakmu mengobrol di tepi pantai adalah seorang makhluk mitologi yang biasa disebut sebagai Merman.
Takut?
Atau justru berkenalan dengannya layaknya manusia biasa seperti yang dila...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Revisi✓
Aku berjalan pelan menuju dek pantai yang sepi. Ingatanku tiba-tiba saja terlempar pada saat Minggu kemarin ketika aku sedang berdiam diri di rumah, salah satu temanku di Indonesia menelpon.
"Kamu gak bakal menetap lama di Italia kan, Katrina?" suara di sebrang sana terdengar khawatir. Hal itu justru membuatku tidak enak hati.
"Sudah ku bilang, bukan? Aku datang kesini hanya untuk berlibur," jawabku kala itu.
Sekaligus melarikan diri pada orang-orang yang menuntut ku di sana. batinku.
"Aku harap kamu cepat pulang kesini,"
"Kamu gak suka ngeliat aku seneng-seneng di Eropa? Kalau waktu itu aku ajak kamu mau, pasti kamu juga gak bakal mau pulang lagi ke tempatmu,"
"Bukan begitu Katrina. Tidak baik jika lama-lama di negara orang,"
"Kenapa?"
"Karena itu bukan tempatmu, dan rumahmu satu-satunya hanya disini, di Jakarta,"
"Tapi aku tidak suka disana,"
"Dan kamu tidak punya alasan untuk terus menghindar,"
"Papa banyak nuntut ke aku,"
"Karena kamu anak pertama dalam keluargamu, kat,"
"Jadi?"
"Gak salah kan, kalau orang tua pengen kasih yang terbaik buat anak pertamanya? jadi menurutku adil-adil aja kalau dia minta kamu buat nurutin apa yang dia mau,"
"Termasuk ngelarang aku jadi penulis? Itu cita-cita ku,"
"Bukan ngelarang, Katrina. Tetapi membatasi. Kamu sudah memasuki semester terakhir kelas 12, dan mungkin papa nggak mau kamu sibuk dengan event-event nulis sedangkan kamu bodoh amat dengan ujian lulus SMA berapa bulan lagi,"
Aku bergeming sebentar. "Binta?"
"Ya?"
"Aku mau disini saja,"
Setelah malam itu, selama dua hari aku mengurung diri dikamar, aku hanya akan keluar dari rumah ketika lapar dan membeli makanan secara takeaway di resto terdekat.
Selama itu pula aku tak menemui Liam, tepatnya setelah sore itu aku bilang bahwa aku siap menjadi temannya.
Satu-satunya teman manusianya.
Aku menghembuskan napas frustasi. Rasa bersalah pada Liam menggerogoti hatiku, mungkin duyung laki-laki itu akan memusuhi ku ketika aku kembali bertemu dengannya nanti.
Terlalu larut dalam pikiran yang tak menentu, tanpa sadar aku telah sampai di pantai. Pasir putih sudah terasa dibawah kakiku, jejak sendal yang tertinggal beberapa langkah di belakang, dan angin meniup rambutku yang terikat. Beberapa langkah lagi, aku akan sampai ke dek pantai.