"Kamu mau kemana?" beberapa saat lalu Rafael meninggalkan kamar untuk bertemu dengan dokter setelah pemeriksaan terhadap Dhea. Ketika kembali Rafael melihat Dhea sudah mengganti baju pasiennya dengan baju yang dia pakai terakhir kali dan bersiap memakai sepatunya. Dhea menengadahkan kepalanya dan melihat Rafael dengan wajah merah seperti menahan amarah. Dhea tau lelaki didepannya ini pasti akan marah setelah apa yang diucapkannya menyakiti hatinya tetapi hatinya juga sakit.
"Aku baik-baik saja. Sebaiknya aku pulang."
"Dokter bilang kamu masih harus menerima perawatan untuk alergimu. Pernapasanmu..."
"Aku tau napasku sendiri Raf. Aku baik-baik saja." Sebelum Rafael menyelesaikan kalimatnya Dhea sudah memotong nya. Dhea beranjak dan pergi begitu saja melewati Rafael yang masih menahan amarahnya. Mencekal tangannya dan menghentikannya sebelum emosinya meluap.
"Ayo." Dhea tidak mengerti tapi Dhea segera melepaskan tangan Rafael yang masih memegangnya.
"Aku bisa pulang sendiri. Sebaiknya aku pulang ke tempat tinggalku. Aku tidak akan lagi tinggal dirumahmu." Kalimat itu benar benar membuat Rafael marah pada Dhea. Perempuan ini benar-benar...
"Apakah kamu sadar dengan apa yang kamu bicarakan Dhe?" Dhea mengangguk.
"Katakan sekali lagi. Tatap aku." Dhea manerik napasnya dan menengadahkan kepalanya.
"Aku pikir aku tidak lagi harus tinggal di rumahmu, bukankan ini sudah berakhir Raf? Aku bahkan sudah banyak merepotkanmu."
"Kamu tidak berpikir, apakah ini bisa diselesaikan dengan kamu pulang ke tempatmu?" Dhea mengangguk. Rafael memijit pelipisnya. Agung benar Dhea bisa jadi sangat menyebalkan hanya dengan keras kepalanya itu. Rafael tidak tau apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku yakin itu akan lebih baik untuk kita berdua. Maafkan aku Raf."
"Tapi tidak denganku Dhe, kamu tau bagaimana perasaanku padamu setelah semua yang kita lewati. Apakah itu tidak berarti juga untukmu?"
"Kamu tidak mengerti."
"Lalu jelaskan biar aku mengerti." Dhea ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi dikeluarkannya dan hanya menyisakan situasi canggung diantara mereka.
"Baiklah kalau itu maumu, aku tidak akan memaksa. Kuantar pulang." Rafael lebih memilih menghindari konfrontasi dengan Dhea karena dia tau hati dan kepalanya dipenuhi banyak hal. Mungkin Dhea juga marah kepada Rafael karena menghubungi kakaknya. Sedangkan Dhea yang mendengarnya juga ikut tertegun, bagaimana seorang Rafael bisa mengalah padanya bahkan Dhea sudah menyiapkan banyak hal untuk membalas perkataan lelaki itu.
Sesampainya di depan kost – tempat tinggalnya – untuk terakhir kalinya Dhea menatap wajah Rafael sekaligus berpamitan. Rafael sudah setuju untuk mengirimkan barang-barangnya besok melalui kurir karena lelaki itu akan sibuk membereskan beberapa hal terkait penculikannya kemarin. Dhea kembali mengingat setelah ini Dhea tidak akan bertemu dengan Rafael lagi.
"Aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir Dhe." Hanya satu kalimat dan Rafael benar-benar meninggalkannya didepan rumah. Setelah mobil Rafael tidak terlihat di tikungan Dhea jatuh terduduk dan menangis disana. Dia dengan baik menahan tangisnya tidak di depan Rafael.
"Maafin aku Raf, maafin aku..."
Beberapa hari setelah itu, Dhea tidak lagi terlihat disekitar Rafael, bahkan Dhea sendiri tidak muncul di sekolah. Agung tau Dhea masih terkejut dan tidak ingin bertemu dengan orang-orang. Dia tidak siap untuk mengulang cerita itu. Bahkan itu juga dirasakan oleh Rafael karena Dhea tau program yang sedang dikerjakan Rafael dan Egen dengan sekolah mereka masih berjalan. Mungkin itu satu-satunya cara Rafael untuk bisa bertemu dengannya tetapi dia salah. Dhea lebih pintar dari dugaannya dalam hal menghindar.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU DRIVES ME CRAZY! (COMPLETED)
Romance"Apakah aku boleh bahagia, Raf?" - Dheandra Hanggara - "Sebenarnya siapa kau sampai menjadi korban kekerasan orang lain?" pertanyaan ini terus mengganggu Rafael. - Tapi entah kenapa aku tidak pernah bisa melepaskan pandangku padamu. Tanpa kusadari...