Chapter 11

191 46 5
                                    

Begitu Sakura pulang ke rumah, ibunya sedang bercakap-cakap di telepon dengan seseorang. Ayahnya sedang duduk di ruang tengah, membaca koran kolom olahraga. Ketika Sakura masuk ke dalam, ibunya terlihat gugup dan cepat-cepat mengakhiri percakapannya dengan seseorang itu.

“Bagaimana kabar Eunbi? Apakah ia sudah sembuh?” tanya ibunya.

“Belum. Ia masih sering batuk-batuk, tapi nanti juga sembuh.”

“Oh, okay.”

Sakura tahu orangtuanya merasa gagal. Ia dapat melihat dari raut mereka ketika mendudukkannya di meja dapur, dengan susu dan kue-kue di tengahnya, sementara mesin cuci berdengung di latar belakang sebagai pengalih perhatian seperti biasa. Ibunya memegangi tissue yang dikepal erat-erat seakan-akan sudah digunakan untuk menyeka air mata. Itulah masalahnya dengan orangtua Sakura. Mereka tidak membiarkan Sakura melihat kelemahan mereka, namun lupa menyingkirkan bukti-buktinya. Sakura tidak melihat air mata ibunya, tapi ia melihat tissuenya. Sakura tidak mendengar amarah ayahnya karena tidak dapat banyak mengubah keadaan, namun Sakura dapat melihat itu di mata ayahnya.

“Ibu bicara dengan siapa tadi di telepon?” tanya Sakura, mengulurkan tangan untuk meraih kue. Tuan Miyawaki membantu mendorong piring kue agar dapat dengan mudah diraih oleh anaknya. Sakura melirik ayahnya, “Terimakasih.”

“Ibu bicara dengan seorang wanita, namanya Irene,” sahut ibunya.

“Hm. Siapa dia?”

“Irene? Ia seorang psikiater.”

Sakura berhenti mengunyah dan menatap kedua orangtuanya secara bergantian.

“Sakura, aku dan ayahmu..” Nyonya Miyawaki melirik suaminya untuk meminta dukungan dan sorot mata suaminya melembut, “..sudah menjadwalkanmu untuk ikut penyuluhan bersama Irene. Mulai minggu depan, kau akan bertemu dengannya, setiap hari Senin.”

Sakura menelan kuenya dengan tidak berselera dan meletakkan sisa kuenya ke atas piring. Ia menepuk-nepuk tangan untuk menyingkirkan remah kue, lalu tertunduk.

“Kau bisa bercerita banyak hal padanya,” Kini Tuan Miyawaki yang bicara. Suaranya terdengar lembut, dan itu pertama kalinya Tuan Miyawaki bicara dengan suara selembut itu pada Sakura. “Irene akan membantumu untuk menyelesaikan masalahmu masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh kami.”

Sakura menarik napas dan berdiri. Ia merasa marah karena diasingkan seperti ini. Sakura menatap ayah dan ibunya bergantian dan bertanya dengan suara parau, “Memangnya, kalian pikir apa masalahku? Masalah macam apa yang tidak bisa kalian selesaikan mengenai diriku sehingga harus menyerahkannya pada seorang psikiater?”

“Sakura..” Nyonya Miyawaki memanggilnya, mencoba menahan diri untuk tidak menangis.

“Apa?!” Sakura membentak kearah ibunya. Ia sudah merasa di luar kontrol saat itu.

“Sakura!” Ayahnya balas membentak dan ikut berdiri. “Sopanlah sedikit! Kami hanya sedang mencoba membantumu!”

“Aku tidak suka dibantu! Biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri!” teriaknya marah.

Nyonya Miyawaki menangis. Tuan Miyawaki berusaha menenangkan istrinya, sementara Sakura berjalan keluar dari dapur.

“Kau masih muda, Sakura! Jiwamu masih labil!” teriak ayahnya, marah sekaligus terdengar cemas. “Sudah sepantasnya kami sebagai orangtua mengarahkanmu.”

Sakura berhenti dan menoleh ke belakang dengan pelan. “Mengarahkan apa lagi?” Ia tertawa histeris. “Justru sekarang kalian harusnya sudah bisa menerima kenyataan kalau aku.. gay.”

Terucaplah sudah, rahasia yang selama ini berusaha dijauhkan Sakura dari kedua orangtuanya. Tidak ada lagi yang disembunyikan. Tidak ada lagi rahasia.

Sakura sedikit menyesal begitu melihat asma ibunya mendadak kumat. Wanita paruh baya itu memegangi dadanya yang sesak dengan pandangan penuh derita. Tuan Miyawaki buru-buru mencari inhaler dari saku sweater yang dikenakan istrinya. Nyonya Miyawaki setengah merampas inhaler itu dari tangan suaminya dan cepat-cepat menghirupnya.

“Yeobo..” Tuan Miyawaki mengelus punggung istrinya dengan khawatir “Tenang. Semuanya masih dibicarakan dengan baik-baik. Sakura pasti hanya bercanda, yah kan, Sakura?”

Sakura diam saja. Ia tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tidak bisa diberikannya.



****

Terimakasih buat temen temen yang sudah vote dan komen, semoga gak bosen sama alur ceritanya ya .

I Need SomebodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang