Chapter 17

232 41 5
                                    

Sakura duduk bersandar pada bantal. Di samping tempat tidurnya ada sepasang tongkat ketiak. Ia memandang wajah-wajah yang mengelilinginya dan ia merasa ingin lari jauh-jauh.

Pamannya berdeham. “Kau terlihat lebih sehat,” katanya. Yang lain mengangguk-angguk setuju ada Bibi Sakura, sepupu-sepupunya, dan neneknya. Semua datang untuk Sakura yang padahal tidak pernah sebelumnya bersikap seperhatian itu padanya. Mereka hanya ikut-ikut atau berpura-pura bersimpati.

“Bibi membawakan kue kesukaanmu. Muffin,” bisik Bibinya.

“Terimakasih,” kata Sakura. Aku tidak pernah suka Muffin.

“Wah, terimakasih,” seru Nyonya Miyawaki berlebihan. “Aku yakin Sakura akan menghabiskannya nanti.” Nyonya Miyawaki meraih kotak kue yang dibawa oleh adik iparnya dan melihat berkeliling. “Di mana kita taruh ini?”

Pamannya menarik kursi. Bibinya mengosongkan sebuah meja kecil, Nyonya Miyawaki memindahkan tongkat ketiak Sakura. Hanya Tuan Miyawaki yang tidak menyibukkan diri basa-basi. Ia berdiri di dekat dinding, jaketnya terlipat di lengan, memandang luka perban di pelipis Sakura.

Sakura bertemu mata dengan ayahnya. Ayahnya menunduk dan tangannya menelusuri tepian jendela. Sakura menegangkan setiap otot di tubuhnya, dan dengan segenap kemauan dan kemampuannya berusaha menahan air mata.

***

Dua hari setelah keluar dari rumah sakit, keadaan belum banyak berubah. Sakura belum bicara dengan ayahnya, Ia hanya bicara dengan ibunya itu pun hanya sekadar dan selalu ibunya yang memulai percakapan. Sakura masih merasa belum siap untuk berbicara lebih banyak dengan mereka. Selain itu, hubungannya dengan Eunbi benar-benar putus setelah hari itu. Eunbi tidak menghubunginya sama sekali atau menjenguknya mungkin karena takut jika Sakura akan marah atau justru memang Eunbi sudah tidak peduli lagi padanya walau sebenarnya, ia diam-diam mengharapkan kedatangan Eunbi dan ingin berbagi cerita dengan gadis itu. Ah, tidak, batin Sakura. Eunbi terlalu sibuk dengan Hyewon.

Sakura lebih banyak mengurung diri di kamar dan menonton televisi. Tapi, kegiatan itu membuatnya bosan. Diliriknya satu set playstation yang berdebu di bawah rak televisi. Debu tebal itu sudah cukup menunjukkan bagaimana renggangnya hubungan Sakura dengan Eunbi akhir-akhir ini. Ritual menginap bersama dan menemani Eunbi bermain playstation sampai pagi tidak lagi dilakukan. Jarang, bahkan hampir tidak pernah lagi.

Sakura beranjak duduk di atas karpet dan mengusap bagian karpet yang biasa didudukki Eunbi. Ia membungkuk ke depan untuk memasang kabel playstation pada televisi dan mengambil joystick. Sakura memutar permainan Winning Eleven yang selama ini sangat dihindarinya dan memilih tim favorit Eunbi, Juventus. Ia bermain dengan penuh emosional dan berjuang keras untuk mencetak gol pada gawang lawan. Namun usahanya gagal Justru sebaliknya, gawangnya yang kebobolan.

Score kini menjadi kosong-satu untuk Sakura. Raut wajah Sakura memerah dan ia beberapa kali mengerang kesal karena bolanya terus-terusan berhasil direbut oleh tim lawan dan ketika tim lawan mencetak angka kedua, Sakura berteriak frustasi lalu melempar joystick ke lantai hingga bagian ujungnya pecah. Sakura menutup wajahnya melipat lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana, lalu menangis.

***

“Ayahku akan mengadakan dinner bersama pada hari Valentine nanti,” kata Hyewon di ujung telepon.

Eunbi bergumam, “Okay, lalu?”

“Aku ingin kau datang bersamaku. Aku ingin memperkenalkanmu pada ayahku. Kau mau, kan?”

Eunbi diam sebentar. Diliriknya majalah edisi Day6 yang ada di meja pinggir tempat tidur dan mengingat bahwa Day6 akan konser pada hari Valentine nanti. Ia dan Sakura sudah berencana sejak sebulan yang lalu bahwa mereka akan nonton bersama, tapi mengingat keadaannya sudah seperti ini, rasanya rencana itu sudah batal sepenuhnya.

I Need SomebodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang