Chapter 14

223 41 24
                                        

Keduanya, Sakura dan Hyewon  disidang di ruang tamu. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan Eunbi, baik Sakura maupun Hyewon tidak ada yang berani mengangkat kepala dan memperlihatkan wajah bersalah mereka pada gadis itu. Sakura apalagi. Ia tahu Eunbi marah sekali padanya Sekelebat, dilihatnya wajah dingin gadis itu tertuju langsung kearahnya. Tatapan benci yang belum pernah dilihat Sakura sebelumnya.

Sementara itu  tubuh Hyewon gemetar dan keringat dingin mengalir di dahi, leher, dan punggungnya. Mendadak ia merasa leher kaosnya terasa mencekik. Sambil menarik karet leher kausnya dengan gelisah, Hyewon berkata, “Itu bukan ciuman yang seperti kau pikirkan, Eunbi. Itu tidak serius.”

Sakura menatap sosok di sebelahnya dengan tidak terima. “Apa maksudmu? Jadi, yang tadi itu hanya main-main?”

Hyewon menggeleng resah tanpa menatap Sakura  “Aku yakin Sakura hanya sedang..” Hyewon berdeham sebentar dan melanjutkan, “..kehilangan kontrol dirinya saat itu.”

“Mwo ?” Sakura melonjak berdiri dari kursinya.

Eunbi ikut melonjak berdiri dari kursinya dengan marah. “Duduklah, Sakura!”

“Tidak! Aku tidak akan duduk sampai Hyewon mau mengatakan yang sebe...”

“Aku berani bersumpah, Eunbi atas nama ayahku itu semua terjadi begitu cepat,” potong Hyewon membela diri. “Ciuman tadi benar-benar di luar kontrol. Demi Tuhan, aku baru saja ingin mendorong Sakura saat itu, namun kau datang tepat di saat aku ingin menolak untuk melakukannya,” lanjutnya, berusaha meyakinkan Eunbi.

Sakura menatap wajah pengecut di sebelahnya dengan sinis amarah Sakura menggelegak. Ia menunggu, tetapi sepertinya memang begitu sajalah yang bisa diharapkan dari seorang Hyewon. Ia tidak akan pernah angkat bicara mengakui perasaan jenis apa yang sedang mereka simpan diam-diam selama ini dari Eunbi. Sakura ingin Hyewon mengaku saja, sebelum ini terlalu menyakitkan untuk Eunbi, namun Hyewon terlihat menyembunyikan sesuatu. Ini adalah bagian dari sebuah skenario untuk mengkamuflase dirinya yang sebenarnya.

“Aku tidak ingin mendengar penjelasan apa pun,” lirih Eunbi di balik tundukan kepalanya. Rambutnya jatuh menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Sesungguhnya, ia tidak mau terlihat menangis di depan kedua orang itu, tapi ia tidak bisa menahannya. Eunbi merasa marah dan kecewa, tapi tidak tahu karena apa. “Hyewon, bisa tinggalkan aku berdua dengan Sakura saja?”

Hyewon mendesah. “Okay,” katanya, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Walau ia tidak yakin Eunbi memercayai ucapannya atau tidak, Hyewon tetap berharap rencananya tidak akan gagal sampai di situ.

***

Sakura duduk di seberang Eunbi dengan wajah kusut, masih merasa kecewa oleh sikap Hyewon. Eunbi tertunduk dan terus mengusap air matanya. Sakura ingin saja mendatangi gadis itu dan mengusap punggung Eunbi hanya sekadar untuk menenangkannya. Namun ia tahu keadaan sedang tidak mendukung saat itu.

“Padahal aku percaya padamu, Sakura,” lirih Eunbi, perlahan mengangkat wajahnya yang sembap.

Sakura menggeleng gelisah. “Apa maksudmu?”

“Bukankah aku pernah bertanya padamu di awal, apakah kau juga menaruh hati pada Hyewon atau tidak? Lalu, jawabanmu adalah ‘tidak’, namun sekarang kau mengingkarinya. Aku sungguh tidak mengerti,” isak Eunbi.

“Tunggu, tunggu,” Sakura menggeser duduknya ke depan dan berkata, “Jangan bilang kau percaya pada Pengecut itu.”

Eunbi menyibak rambut panjangnya ke belakang dan menggelengkan kepala dengan raut putus asa. “Sakura, aku mungkin bisa menerima bahwa kau adalah gay, tapi demi Tuhan melihatmu mencium seorang pria itu membuatku ”

“Apa?” hardik Sakura, mendadak sangat marah. “Kau bilang kau bisa menerima bahwa aku gay, tapi sebenarnya kau belum bisa menerima kenyataan itu sepenuhnya, kan?”

“Lalu, kau ingin aku melakukan apa?”

“Mulai sekarang aku sudah tidak mau berpura-pura lagi,” putus Sakura. “Aku lelah.”

“Kau sudah benar-benar gila, Sakura!” bentak Eunbi, kesal. “Kau pikir kau ini hidup dimana?”

Sakura terdiam Ia menunduk sedih. Eunbi benar, Sakura membatin. Aku hanya terlalu banyak bermimpi. Siapa orang di dunia ini yang bisa menerima orang sepertiku? Orangtuaku sudah jelas menolak. Sikap mereka kemarin cukup jadi bukti bahwa mereka tidak akan pernah mendukungku memilih hidup sebagai gay. Dan sekarang, Eunbi, sahabatku, juga mulai terang-terangan menentang jalan hidupku.

Sepasang mata sendu itu menatap Eunbi dengan sedih. Berharap ia bisa berbagi kalut pikirannya bersama Eunbi seandainya masih bisa.

“Aku pikir kau benar,” kata Sakura dengan suara serak.  “Tidak akan ada orang yang bisa menerima keadaanku. Tidak orangtuaku, tidak juga.. sahabatku.”

Pupil mata Eunbi melebar Sakura memberitahu orangtuanya bahwa ia gay?

“Aku pergi sekarang.” Sakura beranjak dari kursinya, meraih ranselnya dari dalam kamar dan berjalan keluar dari pintu. Pemuda itu sempat terpikir untuk menoleh ke belakang, tapi menahan diri untuk tidak melakukannya.

Saat pintu itu tertutup, Sakura tahu bahwa ia benar-benar sendiri sekarang.

***

“Selamat datang di kantorku, Tuan Miyawaki. Senang bisa bertemu denganmu.”

Tuan Miyawaki tersenyum samar dan menyambut jabatan tangan Irene di tangannya. Irene adalah seorang psikiater muda dan mempunyai rambut hitam yang cantik. Perangainya juga murah senyum, ramah, dan dewasa sosok ideal untuk menjadi seorang pendengar yang baik.

“Aku pikir Sakura yang akan menemuiku,” kata Irene sambil mempersilahkan Tuan Miyawaki duduk di sofa. “Ternyata Anda. Dimana Sakura?”

Tuan Miyawaki menghela napas. “Ia kabur dari rumah.”

Irene mengangguk santai, seolah sudah tahu bahwa kejadiannya akan seperti ini. “Apakah Anda punya dugaan dimana ia sekarang?”

Tuan Miyawaki menggeleng lemah. “Tadi pagi aku sudah menghubungi temannya Eunbi. tapi ia bilang Sakura memang sempat berada di rumahnya, namun pada tengah malam sudah pergi lagi. Entah kemana.”

Irene mengangguk-angguk lagi. “Aku pikir ia hanya belum siap untuk bertemu denganku.”

“Apakah menurutmu ia bisa sembuh?” tanya Tuan Miyawaki, resah.

Alih-alih menjawab pertanyaan Tuan Miyawaki, Irene balas bertanya, “Apakah kesembuhan Sakura sangat berarti untukmu?”

Tuan Miyawaki tertunduk lemah. “Kau tidak tahu betapa beratnya menerima kenyataan ini. Aku sungguh terpukul terlebih lagi istriku. Sakura anak kami satu-satunya, aku hanya ingin ia menjadi orang baik.”

Irene diam saja dan menarik tissue dari kotaknya, lalu memberikannya pada Tuan Miyawaki.

“Terimakasih.” Tuan Miyawaki menyeka sudut matanya dan tersenyum.

Irene ikut tersenyum. “Aku akan melakukan sebisaku untuk membantu Anda, Tuan Miyawaki.”




****

long time no see para penikmat eunsaku, hyekura, kangbi, ofc wizone
Betewe Siapa yang disini emosi sama hyewon ? Tinggal beberapa chapter lagi nih menuju selesai (baru otewe bikin yang baru, biar bisa langsung di up kalo ini udah selesai) .

I Need SomebodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang