Deg
Tenn terdiam. Dia terkejut akan fakta tentang kematian orang tuanya. Dirinya masih mencerna perkataan Riku sambil menunggu adiknya itu melanjutkan perkataannya.
"A-aku membunuh mereka...hiks.. aku pembunuh Tenn-nii! Tou-san bunuh diri karena dia sudah tak sanggup membiayai pengobatanku! Dan Oka-san..hiks..dia mati di tangan perampok karena melindungiku!" Ucapnya Riku sambil sesekali mengusap matanya yang tanpa ia sadari telah basah.
"Seandainya aku..hiks...seandainya aku tak lemah.. seandainya penyakit sial*n ini tak ada ditubuhku..hiks..seandainya aku tak menyusahkan..mereka pasti masih hidup! Tapi..tapi itu semuanya hanya sebuah angan-angan!"
"Kenyataannya..hiks..kenyataannya aku lemah..aku penyakitan, aku menyusahkan..dan karenaku mereka mati! Aku memang pembunuh Tenn-nii! Hiks...aku sampah... mereka mati karena ku..a-ak-" ucapan Riku terpotong akibat Tenn menariknya ke dalam pelukan.
"Diam Riku, jangan bicara lagi. Itu bukan kesalahanmu. Itu takdir. Dan jangan sama sekali memanggil dirimu sebagai pembunuh!"
"Kau bukan sampah dan kau juga bukan pembunuh Riku, tapi kau malaikat! Kau malaikat yang membuat hidup kami lebih bewarna," ucap Tenn lembut sembari mengeratkan pelukannya.
Dia marah. Marah pada kenyataan. Marah pada takdir. Marah pada dirinya sendiri yang ternyata tak mengetahui kabar kematian kedua orang tuanya. Marah karena membuat adiknya harus menanggung semua beban itu sendiri.
Jika saja. Jika saja dia tau lebih awal. Dia pasti akan membawa adiknya bersamanya. Dia pasti akan memperlakukan Riku lebih baik di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. Dia pasti akan merengkuh tubuh kurus itu, menyalurkan sebuah kehangatan.
Riku yang mendengar hal tersebut membalas pelukan Tenn. Kedua saudara itu berpelukan. Menyalurkan kehangatan untuk satu sama lain pertama kalinya setelah sekian tahun. Pelukan hangat yang memang seharusnya mereka beri dari awal pertemuan.
Tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat momen manis kedua saudara itu sambil tersenyum penuh arti. Ya, dia adalah Ken yang mungkin kalian pikir buta. Tetapi, nyatanya dia dapat melihat. Melihat melalui indra pendengarannya yang tajam sebagai ganti dari kekurangannya.
°°°
"Hana-san? Kau sedang apa?" Tanya Iori yang melihat Hana sedang berkutat dengan peralatan masak. Di tempat itu hanya ada dia dan Hana.
"Membuat sarapan," jawabnya singkat.
Ceklek
Suara kompor dimatikan. Hana mengangkat wajan lalu menaruh masakannya ke dalam sebuah piring.
"Ini untukmu," ucapnya sambil memberikan sebuah masakan?
Entahlah, Iori tak tau apakah itu dapat disebut sebuah masakan. Ugh. Dia bahkan tak tau apakah itu dapat dimakan.
Masakan itu nampaknya masih mentah. Bahkan, berlendir.
"Ada apa? Kau tak mau makan?" Tanya Hana lalu berjalan mendekat ke Iori.
"Kau.. apa kau perlu aku suapi? Kenapa masih belum makan hah?" Ucapnya lagi dengan raut wajah menyeramkan membuat Iori terdiam.
"Hei! Aku bicara denganmu! Apa kau tuli?!" Sentaknya di depan wajah Iori sambil melotot.
"Iori? Hana-chan?" Tanya Riku yang tiba-tiba muncul lalu terdiam saat melihat masakan Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Know //Nanase Riku
Fanfiction[COMPLETE] Bunga mawar, sama sepertinya. Bunga itu indah. Wanginya harum dan manis. Tetapi, Hati-hatilah. Jangan berenang terlalu dalam ke pesonanya. Sebab ada duri yang siap menusuk kapan saja. Warning: Author penulis amatir, ini ff pertama author...