9. Menggenggam Janji

1.3K 181 25
                                    

Hari ini Tejo ingin mengirim surat lamaran ke kantor ayahnya Zikri. Di mana kantor itu nantinya akan dipegang oleh Zikri sendiri, namun karena mereka---ia dan Zikri---sama-sama baru saja lulus, harus merangkak sedikit demi sedikit untuk mencapai puncak kejayaannya. Sama seperti Tejo.

Saat Zikri memberi tahunya kalau ada lowongan pekerjaan setelah wisuda kemarin, awalnya Tejo ingin mencari lowongan pekerjaan sendiri ke perusahaan lain. Namun, siapa sangka satu tanggung jawab besar kini sudah ia pikul? Lantas, rezeki tidak boleh ia tolak bukan?

Sekarang ada Risya, istrinya. Tidak mungkin ia menelantarkan Risya dengan kehidupan yang serba sederhana. Dirinya sudah berjanji kepada ibu gadis itu kalau ia akan membahagiakannya. Ya, meski ia tidak tahu kedepannya akan bagaimana, yang jelas ia akan berusaha untuk Risya.

Masalah ekonomi, bukanlah hal yang mudah dalam sebuah rumah tangga. Bagi Tejo, materi---apalagi kebutuhan  ekonomi---adalah salah satu hal penting dalam kehidupan sebuah pernikahan. Sungguh, ia tidak menyesal telah menikahi Risya padahal ia tidak memiliki apa-apa.

Memang, ada sedikit uang sisa kuliah yang setiap bulan bapaknya kirimkan, namun itu tidak akan cukup untuk kehidupan sehari-harinya dalam dua atau tiga bulan kedepan. Bahkan, saat ia kembali ke Jakarta pun, bapak dan Mas Faiz memberikannya uang dengan total 8 juta.

Malu? Iya. Sebagai laki-laki, dirinya belum pantas disebut sebagai seorang yang mandiri. Ia menolak uang itu, terlalu banyak dan dirinya masih memiliki tabungan---walau sedikit. Namun, bapak bersikeras kerja sama dengan Mas Faiz agar ia menerima uang itu yang kini sudah ada dalam tabungannya.

Jika terbangun malam hari, dirinya akan menatap Risya dengan diam. Mengusap kepalanya. Lantas membisikan kalimat-kalimat permintaan maaf karena gadis itu harus hidup dengannya yang belum memiliki apa-apa.

Meski dirinya tahu kalau Risya bukanlah gadis yang materialistis, atau yang mengutaman uang, tapi tetap saja dirinya ingin membahagiakan gadis itu dengan uangnya sendiri.

Huft, ia yakin, dirinya pasti bisa membahagiakan Risya. Mungkin tidak sekarang, tapi esok nanti.

Sekarang, setelah berpakaian rapi dan sarapan, lelaki itu mengecek kembali surat dan beberapa dokumen yang harus ia bawa dalam amplop cokelat besar. Risya bahkan tidak berkedip saat dirinya berpakaian rapi seperti sekarang. Ia hanya terkekeh pelan melihat wajah gadis itu.

"Kaget banget kayaknya lihat aku pakai pakaian rapi kayak gini."

Risya masih menatap Tejo dari atas sampai bawah. "Kenapa, Mas, gak bilang kalau hari ini mau ke sana?"

"Kelupaan, lho, aku. Maaf, deh."

Saat melihat semangat Tejo ingin melamar pekerjaan, membuat sudut hati Risya berdenyut. Dirinya seakan terlempar pada jurang rasa bersalah. Ia tahu, mungkin lelaki itu masih ingin hidup bebas. Masih ingin bermain sesukanya tanpa memikul beban tanggung jawab karena telah menikahinya. Ia menundukkan kepala saat rasa bersalah itu kembali menyelimuti hatinya.

Tejo memasukan amplop itu ke dalam tas yang akan ia bawa. Kemudian mendongak saat Risya tidak lagi bersuara. Ia mengerutkan alis saat melihat gadis itu nampak murung(?)

"Sya, kenapa?" tanyanya.

Kepala gadis itu mendongak dengan mata yang berembun. "Apa karena ada Risya, Mas, jadi bekerja?" lirihnya bertanya.

Tejo membulatkan matanya. "Ya enggaklah, Sya. Kamu itu ngomong apa, sih, ada-ada aja," sahutnya.

"Bukannya kalau gak ada Risya, Mas, jadi bisa hidup bebas? Melakukan apa yang mau Mas lakukan?"

"Aku gak mau membicarakan apa yang nggak penting." Lelaki itu membuang wajahnya. Menarik napasnya dalam.

"Itu penting, Mas."

I Found the Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang