2. Before Married 1 (Flashback)

2K 188 19
                                    

Beberapa hari setelah hari wisudanya, Tejo pulang ke Tegal dengan kedua orang tuanya yang sudah merengek meminta pulang. Orang tuanya tidur di kosnya yang sempit, hanya ada satu kasur berukuran 2×1,5 meter, serta lemari plastik berisi baju-bajunya.

Tempat tidur itu digunakan oleh ibunya. Sedangkan Tejo dan bapaknya tidur di lantai beralaskan tikar. Sungguh, mereka bertiga tidur seperti ikan asin yang dijemur. Berjejer samping-sampingan.

Tejo ikut pulang ke Tegal bukan karena ingin menetap di sana kembali, namun ingin berkunjung ke kampung halamannya saja. Bapak dan Ibu sudah sangat merindukannya untuk tinggal beberapa hari di rumah karena sudah lama ia tidak pulang.

Mereka bertiga pulang menaiki kereta api jurusan kota Tegal. Berangkat dari stasiun Pasar Senen dan berhenti di stasiun Tegal.

Kurang lebih dua hari Tejo sudah ada di rumahnya. Masih beberapa hari lagi sebelum ia kembali ke Jakarta dan mulai mencari kerja. Niatnya ingin seminggu berada di kampung. Sebenarnya sih, Zikri menawarinya lowongan kerja di tempat temannya itu, hanya saja dirinya masih memikirkan keputusannya dengan matang.

Tepat setelah sholat subuh hari ini, darah tinggi bapak naik. Tensinya melebihi batas yang sudah diwanti-wanti sejak lama. Hal itu membuat ibu kalang kabut. Untungnya ada Tejo, anak laki-lakinya yang kebetulan ada di rumah.

Tejo membawa bapaknya ke klinik terdekat. Diikuti ibu yang terus mengoceh—takut bapak kenapa-napa. Tejo sampai memijat pelipisnya yang berdenyut karena ibunya tidak berhenti meracau ketakutan.

"Buk, bapak iku ora papa. Kan wis diperiksa neng dokter miki." (Bapak itu nggak papa. Kan udah diperiksa sama dokter tadi)

Ibu duduk di kursi samping brangkar tempat bapak tertidur. "Bapakmu itu kalau dikasih tahu alot. Untung ada kamu, kalau nggak ada ibu mau minta tolong sama siapa?"

Bapak harus dirawat selama beberapa hari di klinik. Oleh karenanya, saat ini bapak sudah dipindahkan ke salah satu kamar berwarna putih polos. Khas orang yang sedang sakit.

"Iya. Udah ya, Buk, gak usah dipikirin terus. Ibuk mau sarapan apa? Udah mau siang, ibuk belum makan apa-apa. Mau aku beliin apa, Buk?"

"Nasi kuning. Sama bubur buat bapakmu."

Tejo pamit keluar. Akhirnya ia lega karena tidak lagi mendengar ocehan ibunya. Ia berjalan keluar area klinik. Ada beberapa penjual yang memang selalu stay di depan klinik. Apalagi kalau pagi, banyak pedagang sarapan.

Pertama ia membeli nasi kuning dulu, lalu kemudian baru membeli bubur. Ia menatap jalan raya yang ramai, namun tidak sepadat Jakarta. Sudah hampir satu tahun ia tidak pulang ke kotanya sendiri, ada rindu yang menyelip dalam hatinya.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk meninggalkan kota ini—meski ia beberapa kali pulang kampung saat lebaran atau libur semester. Apalagi dirinya merantau sendirian, tidak ada satu keluargapun yang ada di Jakarta. Hal itu dulunya sangat ditentang keras oleh kedua orang tuanya. Terlebih lagi ibunya. Namun, keputusannya sudah bulat. Ia tetap ingin belajar mandiri dengan berkuliah di luar kota, yaitu Jakarta.

Keputusan itu murni karena ia ingin mandiri, bukan karena patah hati atau lari dari sebuah kenyataan. Well, hidup itu terus berjalan, bukan? Dengan tekad yang bulat, dirinya yakin kalau ia bisa melewati masa rantaunya dengan baik.

Ketika bahunya ditepuk, Tejo mengerjap beberapa kali. Lantas menoleh ke samping dan mendapati penjual bubur yang mengangkat kantung plastik. Menunjukan padanya kalau pesanannya sudah selesai.

"Masih pagi lho, Mas, wis ngelamun bae." (Udah ngelamun aja)

"Ah ... iya, Pakde, maaf. Matur suwun, nggeh." (Makasih ya)

Setelahnya Tejo kembali ke dalam klinik. Melewati resepsionis yang ramai. Di sana ada seorang gadis yang tengah menangis, terisak kecil. Ia hanya menatap gadis itu dengan diam.

"Kasih waktu tiga hari, ya, Mbak?"

"Ya sudah, tiga hari ya, Dek?"

"Makasih, Mbak."

Ketika hampir benar-benar melewari resepsionis, Tejo berjalan di belakang gadis itu yang kini sepertinya tengah mengusap air matanya. Hingga gadis itu berbelok ke arah kanan, sedangkan dirinya ke kiri, sejak saat itu, esoknya ia sudah tidak pernah melihat wajah gadis itu lagi.

Namun, itu berubah saat dua hari kemudian dari hari ini, ia bertemu lagi dengan gadis itu.

Membawanya pada sebuah keputusan atas perjanjian yang akan ia genggam.

><

Hari ini Bapak sudah bisa pulang ke rumah. Memakai mobil Mas Faiz—kakak laki-laki pertama Tejo—yang menjemput pagi tadi. Ada juga Mbak Bunga—kakak perempuan kedua Tejo—yang sudah menunggu di rumah dengan suaminya, serta anaknya dan istri serta anaknya Mas Faiz juga.

Tejo membawa motornya sendiri ke klinik. Ia pulang paling akhir karena harus menebus obat milik bapak terlebih dulu. Setelah menebus obat dirinya tidak langsung pulang, melainkan mampir ke taman klinik.

Ia berjalan ke arah taman, pandangannya menyapu keadaan taman yang cukup sepi. Kala matanya menangkap seorang wanita paruh baya yang terjatuh dari kursi roda, ia membulatkan kedua matanya. Lantas berlari menghampiri wanita itu.

"Astaghfirullah, Buk. Ibuk nggak papa? Ayo, saya bantu."

Ibu itu menatap Tejo dengan sayu. Kemudian tubuhnya sudah duduk di kursi roda dengan tenang. Kini Tejo duduk di bangku, di dekat ibu itu.

"Makasih, ya," ucap ibu itu dengan lemas. Kemudian meringis menahan sakit yang ia rasakan dalam organ tubuhnya.

Tejo menatap ibu itu khawatir. "Ibuk nggak papa? Saya antar ke dalam, ya, Buk?"

Ibu itu menggeleng pelan. "Boleh minta bantuan, Nak?" pintanya lirih.

Tejo mengangguk mantap. Ia menatap iba dan khawatir pada ibu itu. Ia membayangkan kalau ibu itu adalah ibunya sendiri yang sedang kesakitan. Ya Allah, jangan sampai. Semoga ibunya selalu sehat.

"Nikahi anak ibu. Tolong."

Seakan tersengat listrik, tubuh Tejo menegang. "Buk, jangan--"

"Ibu sudah lelah, mau menyusul suami ibu saja. Tapi, masih ada anak ibu di sini, tolong kamu nikahi dia. Ibu gak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi selain kamu, Nak. Selama ini gak ada yang mau membantu ibu kecuali Allah."

Air mata ibu itu luruh. Membasahi pipi tirus yang sedikit keriput. Terisak pelan. Rasa sakit dalam tubuhnya kian menghantam. Membuat dadanya semakin sesak.

Ia perlahan meraih tangan anak lelaki di dekatnya itu. Menggenggamnya penuh permohonan. "Ibu mohon, tolong ibu. Tolong nikahi anak ibu. Ibu yakin kamu bisa membahagiakan dia, meski dengan cara yang sederhana." Suara lirih itu berhasil menghipnotis Tejo.

Lalu, yang Tejo lakukan adalah menganggukan kepalnya.

"Iya, saya akan menikahi anak ibu."

Dan setelahnya, satu jam kemudian ibu itu kritis.

Satu pertanggungjawaban besar kini ada di depan mata Tejo.

Tapi apakah dirinya siap untuk melaksanakannya?

...

Alot = Keras

Menstrim kah?😂 maaf yaaa

Lapak lain update nanti, masih proses ngetik

Indramayu, 6 juli 2020

I Found the Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang