*****
"Masih sekolah?"
Rendi mendekat, merangkul pundak Agrar dari samping. Sebelum menjawab, cowok itu sempat mengernyit bingung, lalu setelah itu langsung mengerti apa maksud Rendi.
"Kalau iya?"
Rendi terkekeh pelan, baru kali ini ia merasa Agrar kurang cocok dengan pilihannya. Dikenal sebagai berandalan, sering tawuran, dan balapan liar, rasanya kurang saja jika Agrar bersama perempuan yang tidak selevel dengan mereka. Apalagi, Sani tampak seperti cewek baik-baik. Masalah umurpun sudah dikira lumayan jauh.
"Gue heran kenapa dia suka sama lo, semestinya lo juga yang pandai cari cewek. Sani.. dia lumayan cantik, sayang dia masih bocah ingusan."
Amarah Agrar langsung tersulut. Menoleh tajam dan begitu tidak menyukai apa yang dikatakan Rendi barusan.
"Ngomong apa lo tadi? Bocah ingusan? Apa urusannya sama lo tentang hubungan gue?"
Rendi berdehem, menyadari situasi yang mulai memanas teman-teman semeja yang tak sengaja mendengar obrolan mereka berdua pun langsung menarik Rendi sedikit menjauh.
"Jaga omongan lo Ren, pacarnya denger."
Bisikan dari samping menyadarkan Rendi bahwa beberapa langkah dari mereka telah berdiri Sani yang tadi pamit pergi ke toilet. Dan ya, sudah dipastikan perempuan itu mendengar perkataan dari dirinya.
"Mati lo!"
Orang di sampingnya kembali berteriak, saat Agrar menatap Rendi begitu tajam. Sebelum akhirnya membawa Sani keluar kafe. Cowok itu mencoba ingin menjelaskan semuanya, kebrengsekan dan tingkah laku teman-temannya yang ternyata tersembunyi di dalam hati Sani bahwa hal itulah yang paling cewek itu takuti selama ini.
Ketidak setujuan dan sebuah pertentangan, adalah hal yang sangat Sani ingin hindari. Dia takut, bahwa itu semua akan menimbulkan masalah, apalagi jika itu di perpanjang dan nyatanya disebabkan oleh dirinya.
Pandangan Sani masih kosong, sekarang orang yang membencinya semakin bertambah.
Dia sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan teman Agrar, hanya saja ia mencoba menahan diri untuk tidak marah dan berusaha mengabaikan perasaannya. Sani terlalu peduli pada perasaan orang lain, takut bahwa kehadirannya malah membawa dampak yang tidak mengenakan.
Ucapan dan segala dukungan yang dikatakan Agrar hanya berlalu di telinganya, bagai angin karna sekarang ini yang dipikiran Sani itu cuma satu, yaitu pergi.
"Aku ngerti kok, kamu masuk aja ke dalam, aku tiba-tiba ada urusan, tadi ada temen aku yang kabarin pengen bahas sesuatu soal kelompok pengajar karate. Aku boleh pamit duluan kan? Titip salam sama temen-temen kamu."
Sani dengan cepat membuat alasan, dan itu pastinya berbohong.
"Bener? Kamu gak bohong? Kalau kamu mau marah, marah aja sama Rendi, atau aku aja yang pukul--"
"Please Ra, aku gak mau ada perkelahian di antara kalian. Aku gak pa-pa kok, temen kamu itu pasti cuma bercanda, aku pergi ya."
Agrar melepaskan tangan Sani untuk menjauh, memandang taksi pacarnya yang semakin lama semakin tidak terlihat.
*****
Sudah jam empat sore, Sani masih betah berada di depan danau itu. Sembari bersandar pada pohon rindang di belakangnya, Sani melempar-lemparkan batu kecil ke dalam danau.
Saat ini, perasaannya tengah bimbang, linglung dan terlalu bingung.
Sedangkan teman untuk curhatpun tak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlkaSa
Teen Fiction[On Going] ________________ Dikejar-kejar oleh seseorang ternyata tidak semenyenangkan itu. Sani terlalu lelah untuk menolak dan berkata kalau dia itu tidak suka dengannya, percuma, Alka tidak akan dengar. Maka dia memilih jalan tengah, yaitu dengan...