16. Perkara Hati

94 43 4
                                    

  

*****

"Gue baru tau kalau lo sahabatan sama Samika?"

Semilir angin menerpa wajah kedua sejoli itu di atas motor. Mengendara  menjelang malam jalanan ibu kota tampak masih sangat sibuk.

"Tau apa? Tepatnya Mika 'temen nakal' gue, gak lebih dari sekedar itu."

"Ferdi yang ngomong, gue enggak," Alka menggeleng-gelengkan kepala. Bahunya kaku karna ada kepala Sani yang bersandar di sana. Malam yang dingin cewek itu berhasil menghangatkannya. Hanya sebuah pelukan.

"Bahu lo keras, gue gak suka."

Alka merasa tak rela ketika Sani menjaga jarak. Hhh.. padahal baru sebentar.

Alka hanya tidak tau dibalik alasan Sani menjauh, jika dia mengetahuinya, mungkin ekspetasi Alka akan melayang kemana-mana.

Jantung Sani, berdetak melebihi batas. Bisakah sekali saja Sani bisa tenang di samping cowok ini? Kenapa selalu berkeringat dingin? Sani risih karna tidak tau alasannya.

"Nyokap lo bakal marah nggak kalau tau lo pulang malem?"

"Gue sempet izin, kayaknya enggak."

"Syukurlah, gue enggak mau kalau gue jadi alesan lo kena marah. Lain kali bilang sama gue kalau ternyata nyokap lo gak izinin."

"Selalu kasih izin."

*****

"Dari mana? Kok baru pulang?"

Sani menutup pintu rumah, desahan lirihnya terdengar. Setiap kali Sani membuka pintu, Mamanya pasti sudah duduk di sofa, menyambut kedatangannya untuk memarahinya.

"Mama enggak buta ya San, kamu tadi di antar cowok kan? Siapa? Agrar?"

"Bukan Ma, cuma temen kok."

Sani menyalami Mamanya terlebih dahulu sebelum ke arah undakan tangga menuju kamarnya yang di lantai dua.

"Oh ya? Kenapa Mama rasa cowok itu suka sama kamu, dan kamu fine-fine aja. Kamu juga suka sama dia?"

Lagi-lagi Sani menghela napas dengan segala dugaan dan tudingan dari Mamanya. Emang seberapa kenal sih Mamanya ini dengan Alka? Liat cowok itupun mungkin baru tadi aja. Dan Mamanya malah sudah curigaan begitu, lihatnya dari sudut pandang mana sih? Mamanya ini suka sekali aneh.

"Enggak Ma, mana mungkin aku suka sama cowok lain selain Agrar."

"Ya! Mama enggak suka kalau kamu begitu, apalagi sampai duain Agrar. Awas aja, Mama selalu liatin kamu. Oh ya, akhir-akhir ini Mama lihat kamu jarang jalan sama Agrar, kenapa enggak besok aja? Kan weekend?"

"Udahlah Ma, biar aku yang urus itu semua. Aku mau ke atas dulu, Mama juga istirahat. Pasti capek baru pulang kerja."

"Hm, Mama ke kamar dulu, kamu mandi sana, udah itu langsung tidur, jangan begadang."

"Hm."

Sani menatap Mamanya yang perlahan hilang dari pandangan, begitu rapuh walau tampak kuat di luar. Sungguh, akan pasti menyakiti hati perempuan itu jika Sani tidak menuruti permintaannya.

Sani tidak tega, sekalipun dia tidak mampu, Sani akan berusaha keras agar mampu.

"Malem teros lo pulang? Jangan keseringan San, lo bikin Mama khawatir."

Kakaknya tiba-tiba muncul dari pintu ruangan di sebelah kamarnya. Mengejutkan Sani.

"Lo kayak hantu, ngejutin aja."

Sani membalas begitu datar dan langsung masuk ke kamar tanpa memperdulikan Kakaknya lagi.

"Dasar tembok."

*****

Sani menghidupkan lampu kamarnya yang sebelumnya mati. Sani duduk di pinggir ranjang, merenung sejenak. Kalimat dari mamanya tadi terngiang-ngiang di kepalanya. Membuat Sani merasa bersalah karna telah melanggar titah dari Mamanya. Dia menduai Agrar.

Selanjutnya, Sani beralih melamunkan apa yang ia lakukan hari ini. Ralat, semua yang ia lakukan dari dulu. Dia memikirkan semuanya, bagaimana awal dia bertemu Agrar, berteman, menjalin hubungan, sampai tunangan. Tampak begitu kabur, karna perlahan Sani tanpa sadar melupakannya.

"Lagi? Gue salah. Salah salah salah!"

Tangan Sani mengepal kuat. Menyalahkan dirinya sendiri akan situasi yang sedang ia hadapi Sekarang, dia menyesali semuanya. Dari awal sampai akhir kentara sekali dia yang jahat dan bodoh.

Menyetujui hubungannya dengan Agrar, dan yang baru, dengan Alka. Apa itu tidak lebih dari buruk? Membohongi perasaannya dan orang lain?

"Gue nyesel, seharusnya gue gak terima Alka. Dan Agrar..." mata Sani menyorot kosong "maafin gue Ra."

Nyatanya, yang ia lakukan selama ini, bukan kehendaknya tapi kehendak orang lain. Sani terlalu polos, dia terlalu bingung dengan dua jalan di depannya, hingga dia memilih jalan pintas, yang ternyata membawanya ke ambang jurang.

"Ini enggak akan jadi lebih buruk kalau gue gak terima Alka, tapi..." lagi-lagi Sani berbicara nanar "perasaan gue gak bisa di abaikan."

"Maafin gue.."

Setetes air matanya lolos membasahi pipi Sani, dia bukanlah perempuan cengeng, namun seberusaha keras untuk Sani menahannya ujung-ujungnya masih akan tumpah. Dia bukanlah cewek lemah, hanya pertahanan hatinya yang sekarang sedang luntur.

Dan apa yang ia lakukan, bukannya mengurangi masalah tapi malah membuat masalah baru. Pikiran Sani runyam, antara memilih perasaannya atau perasaan orang lain.

Dia memang mencintai Agrar, namun seiringnya waktu, Sani bosan dengan sifat Agrar yang pemaksa. Dia ingin dibujuk, dirayu, dimanja, sebagaimana mestinya perempuan lain inginkan. Dan pria itu, meluangkan waktu untuknya saja jarang, dia hanya memprioritaskan teman-temannya dari pada dirinya. Apakah salah jika akhirnya Sani pindah hati? Dia bingung.

Dan tentang Alka, dia ingin jujur, Sani sadar akan perasaannya yang sebenarnya untuk cowok itu, dia menyukainya seiring waktu Alka sering muncul di hadapannya. Membujuknya, merayunya, dan memanjakannya, semua yang Sani inginkan ada di Alka, bukan ada di Agrar. Jadi? Apa keputusannya selanjutnya?

Dengan kedua opsi diatas, bisa ditentukan, bahwa Sani akan memilih Alka. Karna Alka lebih banyak memiliki poin untuk menang. Apa lagi yang Sani tunggu? Sudah jelas sekali bahwa cewek itu menyukai Alka saat ini. Seharusnya Sani tidak lagi bingung untuk memilih di antara keduanya?

Tapi, ada yang Sani kuatirkan, ini lebih penting dari pada perasaannya atau perasaan Alka dan Agrar.

Ini tentang perasaan Mamanya.

*****


VOTE AND COMEN.



AlkaSaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang