Aku mengejar Malik yang hendak pulang. "Kita bicara dulu." Aku memohon padanya dengan menarik lengannya agar tidak pulang dulu. Kami harus bicara.
"Kamu kok kayak ngejebak aku? Kamu nggak bilang kalau Ayah kamu nanya masalah keseriusan!" ucapnya dengan nada tinggi.
Aku tersentak, "maaf, aku bingung."
"Aku juga bingung! Kalau di tanya tiba-tiba kayak gitu! Kalau aja aku tau dari awal. Aku nggak mau dateng ke sini." Hatiku sakit mendengar perkataannya seperti itu. Dia tidak tahu posisiku saat ini. Ingin rasanya aku teriak di depan wajahnya! Memberitahukan jika Lia hamil. Namun hati kecilku menahan itu semua. Itu sama saja membuka aib keluargaku sendiri. "Aku pulang," ucapnya marah. Malik menaiki motor lalu pergi. Aku masih berdiri memandanginya yang menjauh sambil menangis. Dia memang pria seperti itu. Jika ada masalah selalu menghindar. Aku berbalik, teman Omku ternyata ada di teras rumah sedang duduk.
Betapa bodohnya aku sampai tidak menyadarinya. Dia melihatku sekilas lalu membuang muka. Aku menahan amarahku. Aku menatapnya tajam lalu masuk ke dalam rumah. Menghiraukan panggilan Ayah, justru aku membanting pintu kamar dan menguncinya. Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa ini harus terjadi kepadaku? Sudah tidak ada harapan lagi dengan Malik. Mungkin hubungan kami akan berakhir.
Tok.. Tokk... Tokkkk ...
"Dini, ini Ayah."
"Aku nggak mau ngomong sama Ayah!" teriakku dari kamar.
"Ayah nggak pernah ngajarin kamu ngebantah orang tua! Cepat buka! Kita bicara!" bentaknya dari balik pintu. Aku tahu sifat Ayah jika sudah marah. Sehingga aku terpaksa membuka pintu. Aku tidak berani menatapnya. Air mataku masih mengalir di pipi. Aku buru-buru menghapusnya. Dan aku kembali ke ruang tamu dengan mata sembab.
"Jadi kamu tau kan jawabannya sekarang?" tanya Ayahku. Aku duduk sambil menundukan kepala.
"Tapi Yah, dia mau melamarku dua tahun lagi," sanggahku yang masih percaya pada Malik. Dia akan menikahiku nanti.
"Dua tahun itu waktu yang lama, Dini. Apa kamu yakin dengannya? Kalau dia cinta sama kamu, Malik akan segera melamarmu tanpa membuatmu menunggu. Ayah nggak meminta mahar mahal atau pesta yang mewah. Kalau dia serius ijab qobul aja bagi Ayah udah cukup. Masalah rezeki ada Allah. Setelah menikah, Ayah yakin ada rezeki yang penting berusaha dan berdoa. Bukannya menunda-nunda. Mending kalian jodoh kalau nggak? Sia-sia kamu nunggu."
"Hubungan kami udah lama, Yah. Aku nggak bisa. Aku mau nunggu Malik," ucapku sambil menangis.
"Dini, mungkin kamu bisa nunggu Malik. Tapi Ayah? Apa umur Ayah bisa nunggu? Ayah udah tua gimana kalau Allah manggil Ayah duluan?" tanyanya begitu menohok hatiku. Aku tertegun. "Impian Ayah cuma mau melihat putri pertama Ayah menikah." Sontak aku mengangkat kepalaku lalu menatap Ayah dengan berurai air mata. "Cuma kamu harapan kami satu-satunya," lirihnya. Musibah yang menimpa Lia membuat keluarga kami pesimis. Dan hanya aku yang menjadi harapan mereka.
"Ayah.. " gumamku pelan. Aku melihat raut wajah Ayah yang sangat kecewa. Usia Ayahku sudah 58 tahun. Dan aku belum pernah membahagiakannya.
"Kalau memang kamu mau nunggu Malik. Silahkan, Ayah.. "
"Nggak Yah," ucapannya terpotong olehku. "Aku mau menuruti apa kata Ayah." Aku tidak mau kehilangan Ayah. Aku ingin mewujudkannya.
Seketika raut wajah Ayah berubah seperti senang. "Apa itu benar?"
"Iya, Yah." Impian setiap anak ingin membahagiakan orang tuanya. Dan inilah saatnya aku melakukannya membuat kedua orang tuaku tersenyum bahagia.
"Kamu mau di jodohkan?" tanya Ayahku memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Marriage (GOOGLE PLAY BOOK)
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY BOOK & KARYAKARSA. Aku harus mengorbankan masa depanku demi adikku. Lia, adikku yang masih sekolah. Di jebak hingga hamil oleh temannya. Aku dipaksa menikah, demi menjadi orang tua dari anak yang dilahirkannya nanti. K...