Part 5 - Keputusan

2.1K 312 10
                                    

Aku memandangi tanganku yang gemetar. Dimana darah Lia yang mengering masih menempel di tanganku. Aku tidak bisa berpikir lagi. Air mataku lolos tanpa bisa kutahan. Lia sedang dalam penanganan di IGD. Aku berdoa dalam hati untuk keselamatan adikku. Kenapa Lia begitu nekat melakukannya.

"Kamu harus cuci tangan dulu," ucap seseorang yang tidak kusadari ada di sampingku. Aku menoleh padanya dengan pandangan kosong. "Tanganmu," ulangnya. Aku menggelengkan kepalaku, tidak mau. Aku tidak bisa meninggalkan adikku yang sedang merenggang nyawa di dalam. "Semuanya akan baik-baik aja," ucapnya.

Aku menangis, "semua ini salahku. Aku nggak bisa jadi kakak yang baik. Aku bodoh!" ucapku mengutuk diri sendiri. Aku menutup wajah dengan tanganku.

"Udah Dini, Lia baik-baik aja," ucapku Omku mencoba menenangkan. "Kamu tenang, jangan nangis kayak gini." Omku juga kalut. "Om udah telepon Ayahmu, dan bilang Lia selamat." Dokter keluar dari ruangan. "Gimana Dok?"

"Alhamdulillah, pasien selamat. Dia di bawa ke rumah sakit cepat. Kalau nggak, kita nggak tau nantinya. Sekarang pasien belum sadar. Mau di pindahkan ke ruang rawat," ucap Dokter memberitahukan keadaan adikku. Kami senang mendengarnya. "Dan apa dia senang hamil?" tanya sang Dokter. Aku dan Om Tian saling beradu pandang. Dan teman Omku mengerutkan dahinya.

"Iya, Dok." Yang menjawab adalah Omku. Lidahku terasa kelu untuk menyahutinya.

Dokter tersebut menganggukan kepalanya, mengerti. "Ada sedikit masalah dengan kandungannya. Lebih jelasnya kita periksa dulu nanti. Setelah pasiennya sadar."

"Iya, Dok," sahut Om Tian.

"Terima kasih, Dok," ucapku seraya mengusap air mata. Tidak lama suster mendorong ranjang Lia keluar. Dia terbaring lemah dengan menggunakan pakaian pasien. Aku menangis haru karena Tuhan mengabulkan doaku. Dan kesempatan ini tidak akan pernah aku sia-siakan.

Aku mengenggam tangan Lia yang masih belum sadar. Aku sudah mencuci tanganku. Menatapi adikku yang selalu ceria kini terbaring lemah dan melakukan hal paling bodoh yaitu bunuh diri. Air mataku menggenang. Aku tidak pernah terbayangkan jika kami kehilangan Lia adikku satu-satunya. Aku lebih memilih keluargaku daripada hal lain. Mungkin inilah keputusanku, untuk melepaskan Malik.

Ini sudah hari kedua Lia belum sadarkan diri. Kami sekeluarga bingung kenapa dia belum juga bangun. Dokter mengatakan sepertinya Lia tidak ingin bangun. Ada sesuatu yang membuatnya seperti itu. Mungkin terlalu banyak beban pikiran.

"Kenapa kamu belum bangun, Lia?" tanyaku. "Kami sangat mengkhawatirkanmu," air mataku jatuh seraya memandangi wajahnya. "Jangan tinggalkan kami," pintaku.

***

Kemarin di rumah, aku dan keluarga beserta Om Tian dan temannya membicarakan tentang keadaan Lia. Dokter meminta menyelesaikan masalah mereka terlebih dahulu agar Lia bisa tersadar. Dan adikku tidak memikirkan di tidur panjangnya lagi. Kami juga harus mengajaknya mengobrol agar Lia merespon. Akhirnya Ayah memutuskan untuk merundingkan apa yang harus dilakukan.

"Gimana Ian sekarang?" tanya Ayahku.

"Aku juga bingung, Bang. Kenapa Lia senekat itu."

"Apa ada masalah sebelumnya? Maaf kalau saya lancang," ucapnya.

"Lia hamil oleh temannya, Adrian. Dia dijebak dan diperkosa," ucap Om Tian. "Nggak perlu di tutup-tutupi lagi. Kamu juga harus tau."

My Marriage (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang