Selama perjalanan pulang aku melamun. Sampai si ojol menegurku jika sudah sampai. Dan aku turun begitu saja lupa membuka helm. Si Ojol itu pun memanggilku untuk kembali, sebelum aku masuk ke pagar rumah. Aku menoleh ke belakang. Dia menunjuk ke kepalanya. Aku terkejut sendiri saat memegang kepalaku yang baru terasa berat. Helm si Ojol masih terpasang. Segera aku melepaskannya. Dan bilang minta maaf atas kecerobohanku. Aku sungguh malu.
Aku memberi salam saat masuk ke dalam rumah. Kini suasana rumah berubah menjadi sunyi. Tidak seperti dulu, aku selalu di sambut dengan wajah sumringah terutama adikku Lia. Jika dia memesan makanan. Kini tidak ada lagi. Aku hanya melihat Ayah yang duduk di sofa dengan termangu. Aku menghampirinya. "Kenapa Yah?" sapaku.
"Lia nggak mau dinikahkan dengan laki-laki brengsek itu!" ucapnya menggebu-gebu.
"Maksudnya? Keluarga Andi sudah ke sini?"
"Ya, tadi sore."
Dalam hati aku sudah menyangkanya. Tidak mungkin Lia mau dinikahi laki-laki remaja itu. Kelakuan dan tampangnya sama-sama jelek. "Jadi gimana, Yah?"
"Ayah juga bingung. Kalau Lia nggak mau menikah. Gimana dengan bayi itu nanti."
"Lebih baik kita pikirkan lagi, Yah. Kita cari solusinya dengan kepala dingin." Aku takut jika Ayah banyak beban akan menganggu kesehatannya.
Ayahku mengangguk. "Gimana Malik?"
Aku gelagapan mendengar pertanyaan Ayah. "Aku- belum ketemu sama Malik. Dia kayaknya lagi sibuk, Yah. Mungkin nanti aku hubungi dia lagi," ucapku berbohong. Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya tentang Malik yang menolak menikah cepat-cepat.
"Baiklah, Ayah tunggu."
"Iya, Yah." Aku tersenyum terpaksa. "Mama kemana, Yah?"
"Ada di kamar sama Lia. Adikmu mengeluh perutnya sakit."
"Kita harus mengeceknya ke Dokter Yah. Berapa bulan kandungannya." Tubuh Lia tidak seperti wanita hamil pada umumnya. Tubuhnya masih kurus. Dan perutnya tidak kentara jika sedang mengandung. Aneh memang.
"Apa kita gugurkan aja ya, Dini?" ucap Ayah dengan pandangan kosong.
"Ayah! Yang di dalam perut Lia itu seorang bayi yang mempunyai nyawa. Apa Ayah tega membunuh darah daging cucu Ayah sendiri?" tanyaku dengan air mata yang tertahan di pelupuk mata. Aku tahu perasaan Ayah yang merasa bersalah dan tidak becus menjaga putrinya sendiri. Ayahku menundukkan kepalanya. "Ayah, Allah ngasih ujian ini karena Allah yakin kalau keluarga kita mampu." Mencoba memberikan semangat meski pun diriku sendiri sama hancurnya. Ayahku hanya mengangguk lemah. "Sekarang Ayah tidur. Jangan banyak pikiran."
Aku meninggalkan Ayah dan menuju kamar Lia. Aku membuka pintu kamarnya. Mamaku sedang mengelus perut adikku. "Ma," tegurku. Wanita yang telah melahirkanku tersenyum dengan wajah lelahnya. "Lia kenapa?"
"Perutnya sakit katanya," Mama memandangi Lia yang menundukkan kepalanya. Dia pasti masih merasa bersalah.
"Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit, Ma. Biar tau kondisinya gimana. Takut nanti kenapa-napa," ucapku.
"Iya, sebenarnya. Nanti kita ke rumah sakit kalau begitu." Mama setuju dengan usulku.
Aku duduk di pinggir ranjang. "Tadi keluarga Andi ke sini?" tanyaku.
"Iya, mereka mau bertanggung jawab. Tapi Lia nggak mau di nikahkan." Mama menceritakan saat keluarga Andi datang. Ayah memukuli laki-laki remaja itu. Aku setuju dengan tindakan Ayah.
"Lia kenapa kamu nggak mau nikah?" tanyaku setelah mendengarkan cerita dari Mama.
"Aku benci dia, Kak! Aku jijik liat dia!" ucapnya dengan menahan amarah. "Aku nggak sudi nikah sama dia! Dia yang buat aku seperti ini!" tambahnya dengan menangis. "Aku benci ini!" Lia memukul-mukul perutnya. Mataku dan Mama terbelalak. Kami menahan tangan Lia yang menyakiti janin yang berada di perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Marriage (GOOGLE PLAY BOOK)
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY BOOK & KARYAKARSA. Aku harus mengorbankan masa depanku demi adikku. Lia, adikku yang masih sekolah. Di jebak hingga hamil oleh temannya. Aku dipaksa menikah, demi menjadi orang tua dari anak yang dilahirkannya nanti. K...