Pipiku terasa hangat mengingatnya. Ciuman semalam masih terasa di bibirku. Hampir saja aku terhanyut sebelum Razan melayangkan tangan mungilnya pada pipi Adrian. Kami sontak terkejut dan segera saling menjauh. Kami lupa diri, jika Razan masih berada di gendonganku. Aku merutuki diri sendiri. Kenapa dengan mudahnya masuk ke dalam pesona Adrian. Pria itu menciumku tanpa izin. Mengapa aku tidak marah sama sekali?! Justru sebaliknya. Apa hatiku telah berubah? Akan tetapi ini kah yang terbaik? Perlahan-lahan hatiku jatuh cinta padanya.
Sikap Adrian pun terasa berbeda. Dia kikuk saat melihatku. Mungkin semalam adalah kejadian di luar dugaan atau memang keinginannya. Entahlah aku tidak tahu. Dulu dengan Malik, aku tidak pernah berciuman sepanas semalam. Wajahku seketika kembali memerah.
"Razan semalem kenapa nampar pipi Ayah, sayang?" tanyaku pada Razan di pangkuanku. Hanya kami berdua, aku berani bicara seperti itu. "Bunda jadi kaget kan," Razan menatapku dengan mata polosnya. "Razan marah ya Bunda deket-deketan sama Ayah?" Bibirnya membulat. "Oh, jadi bener Razan cemburu. Duh, anak Bunda." Aku gemas dan mencium pipinya berulang kali.
"Neng," panggil Bi Ati. Aku menoleh. Aku dan Razan sedang duduk di pendopo. Sedangkan Adrian sudah pergi ke kebun.
"Ada apa, Bi"
"Eum itu," ucap Bi Ati dengan raut wajah khawatir.
"Ada apa, Bi?" ulangku heran melihat tingkahnya.
"Di depan ada orang yang ngasih surat itu, Neng." Aku langsung terdiam. "Dia mau ketemu sama Neng Dini katanya."
"Malik atau Andi?" seru batinku. Jika Malik, apa yang harus aku lakukan. Dan bagaimana jika Adrian bertemu dengannya. "Bi, bisa gendong Razan dulu."
"Iya, Neng." Aku segera menyerahkannya pada Bi Ati.
"Jangan keluar ya, Bi." Amanatku. Aku tidak mau siapapun itu melihat Razan. Bi Ati mengangguk. Aku buru-buru keluar untuk mengetahui siapa yang datang. Selama ini aku belum membaca surat-surat darinya. Aku terpaku di tempatku saat melihat orang tersebut. Firasatku benar dia, Malik.
"Ay," ucapnya. Dia melemparkan senyuman yang tidak aku balas. Kenapa di saat sejauh ini dia datang. Malik hendak melangkahkan kakinya untuk menghampiriku. Namun aku segera menahannya dengan ucapanku.
"Kita bicara di tempat lain," ucapku. Aku melewatinya keluar rumah. Malik mengikutiku. Aku membawanya ke suatu tempat yang tidak jauh dari rumah. "Apa?" aku berbalik seraya memandanginya dengan tatapan datar. Lain dengan hatiku yang sedih dengan kedatangannya.
"Ay, kenapa kamu nggak ngehubungin aku? Apa Bibi itu nggak ngasih surat dariku?" tanyanya menuntut. "Kamu blokir nomorku lalu mengganti nomormu. Aku bingung harus menghubungi siapa."
"Tapi kamu tau alamat rumah ini?"
"Dari Tia, aku memaksanya memberitahuku," jawab Malik.
"Kenapa kamu ngasih surat itu, di saat semuanya udah terjadi?" suaraku seolah menghilang.
"Aku tau aku salah. Dan sekarang aku ingin memperbaikinya."
"Semuanya udah terlambat, Malik." Aku tidak berani menatapnya.
"Kenapa?" lirihnya. "Apa hatimu udah berubah?"
Terlambat untuk menjalin kasih kembali karena Razan. Aku tidak bisa melepaskannya. Dan juga Adrian. "Sekarang aku istri orang, Malik. Aku nggak bisa berpisah gitu aja. Banyak yang aku korbankan."
"Kamu bisa bercerai. Dan aku siap menerimamu apa adanya," ucapnya sungguh-sungguh.
Jika aku bercerai statusku menjadi seorang janda. "Tapi bagaimana dengan Razan? Apa dia mau menerima juga?" hatiku bertanya-tanya. "Penyesalan selalu datang terlambat, iya kan?" ucapku tersenyum kecut. "Maaf aku nggak bisa." Aku memunggunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Marriage (GOOGLE PLAY BOOK)
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY BOOK & KARYAKARSA. Aku harus mengorbankan masa depanku demi adikku. Lia, adikku yang masih sekolah. Di jebak hingga hamil oleh temannya. Aku dipaksa menikah, demi menjadi orang tua dari anak yang dilahirkannya nanti. K...