Hari-hariku semakin kelabu saja. Sekarang aku lebih banyak diam dibandingkan dulu. Aku bicara seperlunya. Mimpi tersebut benar-benar mempengaruhi pikiran dan perasaan. Mencurigai apa pun yang di lakukan Adrian dan Lia. Aku selalu memperhatikan gerak-gerik mereka. Hatiku benar-benar dikuasai rasa cemas. Andai saja, aku menyadarinya dari awal.
"Neng," panggil Bi Ati. Aku menoleh ke belakang. "Ini tututnya mau di masak?"
"Iya, Bi." Aku ingin tahu juga bagaimana rasanya.
"Bibi bersiin dulu ya terus di masak." Aku mengangguk. Hubunganku dan Lia sedikit merenggang. Dia sedang di kamarnya. Entah apa yang di lakukannya. Aku tahu, aku egois. Seharusnya aku menyampingkan egoku karena Lia adikku sedang hamil. Diriku benar-benar serba salah. Aku mengusap wajahku gusar. Duduk di pendopo seorang diri.
"Dini ke mana Bi?" aku mendengar Adrian menanyakanku. Aku berpura-pura tidak mendengarnya. "Dini," tegurnya saat melihatku. Aku tidak mengubrisnya. "Dini," ulangnya memanggilku. "Kamu mau ikut?" tanya Adrian padaku. Aku menggeser bokongku untuk menoleh. "Ke kebun," lanjutnya memberitahu tempat dia mengajakku.
"Udah ikut, Neng. Dari pada bengong aja di sini," sambar Bi Ati yang sedang membuang bagian ujung tutut tersebut di luar.
"Lia nggak ada yang jaga," jawabku.
"Ada bibi ini di rumah, Neng." Wajahku seketika cemberut saat Bi Ati masih saja menyahuti. Justru aku sedang malas ke mana-mana apa lagi dengan pria itu. "Udah sana ikut," suruhnya. Andai saja Lia tidak hamil mungkin yang di ajak adikku bukan aku, pikiran jelekku kembali berulah. Adrian masih menungguku. Dengan hati terpaksa aku berdiri. "Nah gitu dong, Neng. Jalan berduaan pengantin baru. Sekalian pacaran" Bi Ati senyum-senyum. Aku berusaha tidak menunjukkan rasa benciku terhadap suamiku sendiri.
"Bi, aku pergi dulu ya. Nanti kalau Lia nanyain kami keluar," pamit Adrian.
"Lia lagi Lia lagi," decakku dalam hati. Aku mengikutinya keluar rumah. Di teras rumah Adrian sedang memanaskan motor Mio. "Bukannya naik mobil?" tanyaku.
"Jalannya nggak bisa pake mobil. Jadi kita pake motor aja." Dia mengeluarkan motornya ke depan pintu gerbang lalu menutupnya kembali. "Yuk," ucapnya setelah selesai. Dia sudah berada di atas motor. Aku mengenakan gaun sederhana sedikit bingung posisi duduknya. Kalau miring aku takut jatuh. Syukurlah gaunku lebar aku bisa duduk mengangkang.
Ternyata benar jalanan ke kebun itu kecil dan rusak. Aku harus memegangi kemeja Adrian dengan kencang, takut terjatuh. Cukup jauh kebun milik Adrian. Setelah sampai di sana kakiku keram. Aku memegangi kakiku saat turun.
"Pegal?" tanyanya.
"Iya," jawabku.
"Istirahat dulu kalau gitu." Dia menunjuk sebuah saung. "Nanti kita jalan lagi ke dalam,"
"Apa?" aku terkejut. Jadi yang di depanku ini bukan kebunnya? Aku harus berjalan kaki lagi. Ya ampun, kakiku bisa-bisa copot.
"Iya, kebun yang mau aku kunjungi ada di dalam sana." Hanya ada jalan setapak, itu artinya tidak bisa pakai motor harus jalan kaki.
"Aku istirahat dulu," ucapku berjalan ke saung. Adrian masuk ke dalam saung. Dia menyodorkanku segelas air putih. Aku meminumnya sampai habis. Di tambah cuaca sedang panas-panasnya. Adrian tiba-tiba melepaskan kemejanya. Menyisakan kaos dalam berwana merah kontras dengan kulitnya yang putih. Aku melihat otot di lengannya teringat mimpi sialan tersebut. Aku menjadi was-was. Dan menjauh dari pria itu. Ya, aku takut. Apa lagi hanya ada kami berdua. Pandanganku mengedar ke penjuru sawah ada orang tapi jauh dari jangkauanku.
"Udah?" tanyanya.
"Ya? Oh udah,"
"Kita jalan sekarang kalau gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Marriage (GOOGLE PLAY BOOK)
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY BOOK & KARYAKARSA. Aku harus mengorbankan masa depanku demi adikku. Lia, adikku yang masih sekolah. Di jebak hingga hamil oleh temannya. Aku dipaksa menikah, demi menjadi orang tua dari anak yang dilahirkannya nanti. K...