Part 24 - Perasaan Lega

1.8K 335 21
                                    

Keesokan paginya aku memberanikan diri untuk keluar dengan mengajak Razan. Jujur ini adalah paling menegangkan dalam hidupku. Bagaimana melihat reaksi lingkungan kami. Berulang kali aku menarik napas menenangkan diri. Razan pagi itu sudah bangun. Aku dan Mamaku mengajaknya jalan menggunakan stroller yang sengaja Adrian bawa dari Bandung. Agar mudah membawa Razan. Agar Razan menghirup udara segar.

"Mau aku temenin?" tanya Adrian saat aku dan Mamaku hendak keluar. Mungkin dia takut akan terjadi sesuatu. Aku sengaja tidak mengajak Lia. Jika orang-orang melihat Lia akan memiliki persepsi yang berbeda.

"Nggak usah, aku sama Mama aja." Aku menolaknya. "Nanti sekalian mau ke pasar, mau nitip apa? Sarapan?"

"Eum, aku pengen sarapan bubur sumsum. Nggak tau kenapa," ucapnya sambil mikir.

"Oh, ya udah. Nanti aku beliin. Cuma itu aja?"

"Iya, hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, telepon aku."

"Iya," sahutku. "Yuk, Ma."

"Kami pergi dulu ya, Adrian," ucap Mamaku pamit.

"Hati-hati, Ma."

Aku tidak lupa mengucapkan bismillah sebelum melangkah keluar. Aku butuh kekuatan untuk menghadapinya. Langit yang gelap mulai perlahan-lahan terang. Awan yang tadinya berwarna abu-abu kini bercampur warna oranye. Udaranya sangat segar. Di lingkungan kami ada pasar dadakan jika setiap pagi. Lokasinya tidak jauh dari rumah kami. Aku mendorong stroller pelan. Razan sedang asyik menyusu. Mamaku berjalan di sebelahku.

"Di sini sekarang udah banyak rumah ya, Ma."

"Iya, Dini. Banyak orang baru juga," jawab Mamaku.

"Pantes Ma. Tapi jadi nggak takut lagi ya."

"Iya," ucapnya. Tiba-tiba ada yang memanggil nama Mamaku. Sontak kami menoleh. Aku berusaha bersikap biasa saja. Terbalik di dalam hatiku merasa gugup sekali. Aku menahannya.

"Bu Aini," tegurnya. "Owalah ternyata bener. Saya kira bukan, abisnya-" Beliau melihat ke arahku dan juga Razan. "Dini udah punya anak, Bu?" tanyanya dengan raut wajah terkejut.

Aku tersenyum, "iya, Bu. Namanya Razan," aku yang menimpalinya.

Bu Retno membungkuk untuk melihat Razan lebih jelas. "Anaknya lucu banget, Dini." Beliau senang sekali. "Mirip kamu ya," sambungnya. Air mataku merebak detik itu juga. Tidak menyangka akan seperti ini. "Udah lama nggak ke sini, tau-tau udah punya anak. Bu Aini pasti seneng banget ya punya cucu." Bu Retno terkekeh. Aku dan Mamaku saling melempar pandangan. Kami tersenyum tipis. Bu Retno tidak menyinggung apa pun tentang Razan.

"Iya, Bu Retno. Saya seneng banget punya cucu. Sayangnya, jauh." Mamaku merajuk.

"Tapi Dini kan pasti sering-sering ke sini. Tau Neneknya kangen, iya kan Dini?"

"Iya, Bu. Pasti sering pulang. Atau Mama yang ke Bandung." Aku tersenyum.

"Iya betul itu. Mau ke mana?"

"Pasar, Bu. Ini suaminya Dini pengen bubur sumsum katanya," ucap Mamaku.

"Ya udah kita bareng," Bu Retno menggandeng tangan Mamaku. Sepanjang jalan mereka bercerita. Aku hanya ikut bicara sesekali.

"Bu Retno, kalau Tante Rosi ke mana, kok tumben nggak keliatan?" tanyaku. Tante Rosi itu tukang gosip. Aku belum bertemu batang hidungnya. Biasanya pagi-pagi sudah ada di pasar belanja sekalian bergosip ria. Beliau terkenal dengan tingkahnya. Pasti Tante Rosi akan mengomentari Razan.

"Lho, memangnya kamu nggak tau?"

"Kenapa?" tanyaku sambil mendorong stroller.

"Udah pindah, dia cerai. Rumahnya di jual terus sekarang tinggal sama anak pertamanya di Surabaya."

My Marriage (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang