02.Liontin peri

100 46 3
                                    

Musim panas hampir berlalu. Besok adalah musim gugur. Hujan deras sepanjang hari. Luhan tetap bersikeras pergi untuk menemui teman musim panasnya, Luica.

Sedangkan gadis bermata biru itu sedang menunggu Luhan di kala hujan turun. Wajahnya seketika berubah dingin dan pucat di jatuhi ribuan tetes air hujan.

Hujan semakin deras. Senyum kecil gadis itu terlukis di pipinya.

Luhan akhirnya datang.

Di bawah pohon yang rindang, keduanya berteduh. Luhan duduk dengan tersenyum malu, dia merangkul sesuatu dari saku celananya. Tangan kecilnya menggenggam sesuatu dengan erat namun lembut. Seakan yang dia genggam itu adalah nyawanya.

"Bukalah!" Luhan mengarahkan tangannya di hadapan Luica.

"Apa itu?" Matanya mengintip ditangan Luhan.

Dia membukanya perlahan-lahan. Jari demi jari mulai merenggang. Terlihat sesuatu yang berkilau. Sebuah liontin bulat berwarna putih seputih kristal. Memancarkan cahaya ribuan bintang. Luhan memberikan liontin itu kepada Luica si gadis bermata biru.

"Wah, sangat indah." Ia menerima pemberian temannya.

"Sekarang itu milikmu." Luhan tersenyum.

"Benarkah?" Kilauan dari liontin itu terpancar di mata Luica. "Apakah aku bisa memberinya nama? " sambung Luica.

"Nama? Menurutmu nama apa yang cocok? "

"Warnanya putih seperti cahaya dan berkilau seperti ribuan bintang di langit. Bagaimana kalau disebut liontin peri."

"Liontin peri?"

"Umm. Di tempat tinggalku ada banyak peri kecil di antara pepohonan. Cahayanya yang terang dapat memandu jalan untuk kami."

"Apakah peri benar-benar ada? "

"Umm." Luica mengangguk. "Tentu saja. Suatu saat nanti aku akan membawamu ke sana."

"Kenapa harus nanti? Sekarang juga bisa."

"Tidak Luhan. Itu adalah wilayah kami. Harus izin terlebih dahulu baru bisa membawa orang luar masuk. Kau harus sabar."

"Ohh ayolah. Aku benar-benar tidak sabar."

Tiba-tiba sesuatu bergejolak dalam hati Luica. Ia merasakan sesuatu yang buruk terjadi. Insting serigalanya mulai merasakan tanda bahaya.

Tubuhnya mulai terasa panas, mata birunya memancar. Kewaspadaan gadis itu tiba-tiba meningkat. Bahkan suara daun jatuh pun tak lepas dari telinganya.

Kemudian terdengar suara tembakan senapan dan suara gerakan di antara pepohonan.

"Luica, sepertinya ada pemburu yang berburu di sekitar sini. Jika kau takut, kita lebih baik menjauh dari sini." Luhan menggenggam tangan Luica erat-erat.

"Tidak." Luica melihat ke arah suara itu dengan cemas.

Luhan merasa khawatir dengan keadaan Luica. Tubuh gadis itu menjadi lebih panas dari pada biasanya. "Luica, ada apa? Apa kau sakit? "

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Tapi tubuhmu sangat panas. Jika kau sakit aku akan membawamu ke rumahku. Aku akan memberimu obat, " ucap Luhan khawatir.

"Kau harus segera pulang!"

"Apa?" Luhan mengangkat kedua alisnya heran.

"Pulanglah Luhan!"

"Tapi." Luhan merasa aneh dengan tingkah Luica hari ini. Matanya menatap gadis itu dengan penuh kebingungan di kepalanya.

Kali ini terdengar suara lolongan serigala dari tempat yang sama dengan suara tembakan itu.

The Real HunterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang