09 - behind the scenes

41 12 39
                                    

mari kita lihat, sebuah topeng dan kotak hitam sebuah ingatan.

' ' '

"Ayah titip Orion ke kamu, ya?"

Lelaki itu terdiam sejenak. Permintaan dengan nada putus asa dari pria paruh baya dihadapannya itu membuat hatinya sedikit bergetar. Tangan pria paruh baya itu menggenggam kedua tangan lelaki itu saat tak mendapati tanda-tanda bahwa lelaki itu menyetujui permintaannya.

"Ayah mohon. Ayah nggak tau lagi harus minta tolong ke siapa. Rion, kasihan dia. Dia nggak bisa hidup sendiri tanpa ayah—"

Lelaki itu menyentak kecil tangan sang pria. Ia menatap tajam pada pria berpakaian tahanan, ada tatapan kesal dan terluka disana. "Apa kabar denganku? Anak yang ayah abaikan bertahun-tahun lamanya?" tanya lelaki itu.

Sang pria mengusap matanya yang mulai basah. "Ayah mohon ...."

Lagi, lelaki itu hanya melengos. Ia kemudian berdiri dan menatap sebentar sang pria yang masih terduduk di kursinya dengan mata yang perlahan basah kembali.

"Aku kira ayah akan sadar setelah kejadian ini. Tapi nyatanya ...." Tangan lelaki itu mengepal perlahan, giginya bergemeletuk menahan sesak didadanya yang makin menjadi. "Ayah sama saja."

Kriett!

Seorang petugas membuka pintu ruang kunjungan dengan perlahan. Aura tak mengenakkan yang berada diatmosfer ruangan membuat sang petugas berdeham pelan sebelum memulai berbicara.

"Permisi, tapi maaf, Saudara Rigel, waktu kunjung sudah habis," ucap sang penjaga pada lelaki yang sudah siap meninggalkan tempatnya berdiri.

Rigel mengangguk pelan. "Aku sudah tidak sudi lagi berada satu ruangan dengan pria ini," ucap Rigel tajam.

Sang pria menatap Rigel dengan tatapan sayu. "Ayah mohon, sekali ini saja, Rigel."
Mendengarnya, membuat Rigel tersenyum miring.

"Aku berkunjung buat memastikan ayah baik-baik saja. Tapi balasan ayah terhadapku ... adalah ini?" Rigel bertanya dengan alis terangkat sebelah. Pria yang Rigel panggil ayah itu kemudian menunduk, tak berani menatap netra Rigel yang terasa sangat menguras oksigen secara tak langsung pada paru-parunya.

"Maaf, ayah minta maaf ... ayah salah."
"Dan ayah harus menebusnya, aku ingatkan, dosa ayah sangatlah banyak," ucap Rigel tajam.

"Saudara—" Ucapan petugas yang masih berdiri diambang pintu itu terpotong oleh tangan Rigel yang secara refleks terangkat ke udara, memberi isyarat untuk memberinya ruang bicara sejenak.

"Rion memang prioritas ayah, sampai kapanpun. Tapi ayah lupa, aku masih disini. Ayah bahkan lebih mementingkan hasil dari kesalahan ayah daripada merawat anak yang jelas-jelas buah dari pernikahan yang sah!"

Rigel membentak sang ayah. Rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal kuat. Hatinya sakit. Sangat. Jika ayahnya selalu mengabaikannya, kenapa tidak dari dulu saja ia dimusnahkan? Itu akan lebih baik daripada Rigel harus terus bertahan dari luka yang tak pernah sembuh seperti ini.

Tidak banyak, atau mungkin tidak ada yang tahu. Rigel dan Orion adalah saudara. Darah yang menyatukan mereka adalah milik sang ayah.
Sedangkan ibu, mereka lahir dari dua rahim berbeda. Dan salah satunya, lahir atas kesalahan disengaja dari ayah mereka.

ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang