17 - i'm ok

10 2 0
                                    

⚠ warning ⚠
mengandung little hareudang scene

' ' '

happy reading
- typo eperiwere -

: :

Menghabiskan hampir satu jam di makam bunda, Rigel dan Fany akhirnya beranjak dari sana karena langit mulai menggelap dengan suara guntur yang samar terdengar. Keduanya kini sudah menyusuri jalanan sepi menuju rumah.

"Kenapa nggak lewat jalan besar saja?" tanya Fany ketika ia merasa suasana disekitarnya menjadi tidak enak.

"Lebih cepat, bunda. Lagipula kalau lewat jalan besar takut macet," balas Rigel yang diangguki oleh Fany kemudian. Ada benarnya juga. Lebuh cepat lebih baik.

Prang!

Bugh!

"MAJU SINI LO BANGSAT!"

Rigel menegang, begitupun Fany. Dari jarak beberapa ratus meter di tempat Rigel berada, tepat didepan minimarket pinggir jalan segerombolan orang---yang sepertinya adalah anak SMA---sedang saling baku hantam dengan berbagai senjata tajam maupun berserakan. Mereka seperti kesetanan, terus memukul dan menyudutkan lawan hingga mereka benar-benar tak berdaya.

Sial. Rigel sepertinya harus putar balik.

Trakkkk!

Sebuah senjata, dengan bentuk pisau melengkung dan sedikit berkarat tanpa sengaja terlempar dan jatuh tepat mengenai bodi motor Rigel.

"Shit!" Rigel mengumpat kecil.

Atensi kedua kubu yang sedang bertarung itu kemudian teralihkan. Berganti menatap Rigel dengan pandangan tajam.

"Gimana nih?" Fany mendesis kecil. Ketakutan karena bukan hanya sedikit orang yang ada disana. Puluhan orang, tidak mungkin kan mereka harus melawan orang sebanyak itu?

Rigel terlihat gemetar, tapi ia mencoba tenang dengan segala kemungkinan buruk yang terus berputar diotaknya. Konyol sekali kalau Rigel harus mati karena kena bogem anak SMA seperti mereka.

"Gaes, tenang, gaes," ucap Rigel berusaha tenang. Ia berdiri di motornya membuat Fany membelalak kecil. Harusnya langsung kabur aja!

"G-gue nggak bermaksud ganggu pesta kalian kok." Pelipis Rigel sudah bercucuran keringat. Tangannya bahkan terasa berkeringat sekarang.

"Lo mau kabur, ha?" Salah satu dari mereka menaikkan dagu, belagu.

"E-eh, enggak kok. Hehe, boleh nonton emang? Gue jadi tim sorak deh," jawab Rigel canggung.

"Boleh." Si cowok belagu itu maju selangkah, ditangannya ada sebalok besi besar, siap menebas siapa saja yang berani melawannya.

Wajah mereka terlihat mengerikan, terlebih di anak berbeda paling besar tengah menatap Rigel tajam seperti hendak menelan Rigel bulat-bulat jika bisa.

Fany tanpa pikir panjang langsung mengambil ponselnya, hendak menelpon polisi. Tetapi bukannya menyelesaikan masalah malah para anak berandalan itu semakin menatap keduanya tajam.

"Jangan coba-coba buat telpon polisi," ancam mereka.

"H-halo ...."

"WOI, GUE BILANG JANGAN TELPON POLISI!"

Mereka serentak menyerang ketika Fany dengan takut-takut menyapa orang yang berhasil ia hubungi. Rigel kelabakan, refleks maju dan melindungi Fany sekuat tenaga.

ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang