°°°
Tidak sadar aku beranjak dari dudukku dan menggebrak meja, meski pelan tetap saja menimbulkan atensi dari seluruh isi dalam kafe.
Aku hanya menatap fokus pada Zeavan, berharap ia mengerti apa yang aku katakan saat ini. Zeavan mengerutkan keningnya penuh rasa bertanya.
"Kau melihat sesuatu? Kau ingin membicarakannya di dalam mobil?" Nada suaranya tenang namun aku tahu ia sudah berikan isyarat pada bayangan yang menyebar di sekitar kami untuk siaga. Aku menggeleng kebingungan, tidak tahu harus bagaimana. Apa aku terlalu cepat memberitahukan ini pada Zeavan? Bibir bawah kugigit, rasa cemas bercampur tidak mengerti tergambar jelas di wajahku.
"Jika kita keluar dari kafe, mereka akan curiga. Dan kau tidak akan tahu pasti siapa dalang di balik kasus ini," bisikku pelan agar tidak terdengar sekitar. Zeavan menepuk pundakku perlahan, membuatku kembali duduk bersamaan dengan dirinya.
"Baiklah, tapi coba jelaskan, apa maksudmu dengan kafe ini akan meledak? Semua mata sudah tertuju pada kita, jika target ada di sini, dia juga sudah pasti merasa awas karena teriakanmu tadi."
Aku menepuk kening kuat, merasa kesal dan bodoh atas hal yang aku lakukan barusan. Kenapa juga aku berteriak seperti orang gila?
"Bagaimanapun kelanjutannya, kita sepertinya tidak akan temukan dalang di balik kasus ini. Lebih baik kita bergegas pulang, aku akan laporkan hal ini pada Chello," jelas Zeavan masih dengan wajah tenangnya. Aku diam tidak segera menjawab, setengah merasa bersalah, setengah merasa kesal.
"Sudah, tidak ada gunanya merasa bodoh di saat seperti ini. Aku maklum, setidaknya aku tahu ini jebakan. Tidak buruk untuk takaran orang biasa sepertimu, dan lagi aku percaya sekarang dengan kemampuanmu. Karena tadinya, jika kau gagal menunjukkan kemampuanmu, salah satu bayangan sudah siap menembakmu." Zeavan tersenyum, mengangkat sebelah tangannya ke udara dan memutarnya setengah lingkaran. Kode yang mengartikan "target batal", atau dalam arti lainnya target yang dibawa tidak jadi dibunuh.
Aku menelan ludah, samar kepalaku mengangguk dan mengikuti Zeavan melangkah keluar tanpa mencicipi kopi yang terpesan. Kepala kutundukkan, menatap lurus pada sepatu kets berwarna merah yang kupakai. Ugh, kenapa harus warna merah, kenapa harus mengingatkanku pada warna darah? Aku mual, terutama membayangkan aku yang tertembak tanpa aba-aba, tanpa sempat mengucapkan apa pun.
Zeavan melangkah lebih dulu dariku tanpa sadar, bahkan ia sudah berada di seberang jalan. Aku bisa melihatnya tengah berbincang dengan G tidak jauh dari pintu kafe. Jarak parkiran dan pintu kafe ini cukup jauh, mungkin karena bagian depan kafe tidak begitu luas. Jadi pemilik memanfaatkan lahan kosong bagian seberang kafe untuk dijadikan tempat parkir tambahan.
Tiba-tiba saja lututku lemas dan kakiku berhenti melangkah, apa lari saja?
Belum sempat aku tenggelam dalam pikiranku aku sudah dikagetkan dengan teriakan Zeavan dari jauh. Tidak sampai sepuluh detik dari suara teriakan tiba-tiba saja aku mendengar suara ledakan besar dari arah belakang dan membuat tubuhku terpental jauh seperti didorong kuat oleh sesuatu hingga terguling di jalanan. Tidak ada hal lain yang aku rasakan selain sakit, sakit menyebar di sekujur tubuhku. Sekuat apa pun aku ingin sadar dan bergerak, nihil, aku tidak mampu. Dengan menyesal aku harus kehilangan kesadaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garden Of Mirror [ Noir ] [ COMPLETE - TERBIT E-BOOK ]
Fantasy[ Daftar Pendek The WattysID 2021 - Nominasi Pemenang ] Gadis itu sudah mati, pria itu masih hidup. *** "Jadi, Anda ini apa? Anda semacam dewi? Penguasa? Bagaimana bisa Anda terjebak di sini? Bahkan sepertinya, Anda mudah sekali untuk dihabisi." ...