Malam itu, ditemani sinar bulan yang terlihat bahagia di atas sana. Doyoung berjalan menyusuri perkarangan rumah megah milik sang Ayah. Memikirkan banyak sekali hal hari ini, termasuk dengan bagaimana rasa makanan yang ia beli tadi di perjalanan.
Tidak mahal. Doyoung hanya sanggup membeli seporsi tteokpokki yang dijual di pinggir jalan, itupun belum ia makan masih ia genggam di tangannya. Doyoung memang harus banyak menyisakan uangnya, ia masih berhutang pada Taeyong soal biaya rumah sakit kemarin.
Samar-samar, ia memang merasakan jika pergelangan kaki dan bahu kirinya sedikit nyeri, mungkin karena jatuh dari tangga tadi pagi. Doyoung tetaplah Doyoung, bahkan penyakit yang sudah lama bersarang di dalam tubuhnya saja hampir tidak pernah ia rasakan, meski pernah merasakan sampai seperti sama sekali tidak bisa bernafas.
Ceklek!
"Bekerja? Lelah kau?!" Doyoung agak tersentak mendengar suara tinggi itu. Perlahan, kepalanya ia angkat agar bisa memandang lurus. Kini di hadapannya, Chanyeol sudah berdiri dengan wajah tegasnya.
Plak!
Kepala Doyoung sampai menoleh mendapat tamparan itu, bahkan Doyoung tidak mengerti kenapa perihnya bisa sampai ke dalam hatinya. Padahal seharusnya, pipi dan hati sama sekali tak memiliki hubungan.
Setelahnya, Doyoung merasakan kerah kemejanya ditarik paksa.
Brak!
Doyoung meringis pelan, Chanyeol berhasil melemparnya hingga membentur meja ruang tamu yang terbuat dari kayu itu. Doyoung hanya bisa diam jika sudah begini, meresapi setiap detik rasa sakit yang telah ayahnya berikan. Ditambah dengan bungkusan makanannya hari ini sudah berceceran mengotori lantai.
Duakh!
"Ergh..." Doyoung meredam kuat-kuat ringisannya, ketika sepatu pantofel Chanyeol tepat mengenai perutnya. Ayahnya itu tidak pernah tanggung-tanggung kalau menurutnya, Doyoung berbuat kesalahan.
"Dasar bikin malu!" bentak Chanyeol lagi.
Doyoung kini sudah tidak lagi punya sisa tenaga, tangan kanannya ia buat untuk meremat perutnya yang terasa nyeri, sedangkan yang kiri ia buat untuk mengepal dengan kuat, mengalihkan amarah sekaligus rasa sesak yang juga menyiksanya.
"Untuk apa kau kerja bodoh!"
Duakh!
Itu yang terakhir, namun merupakan yang paling menyakitkan bagi Doyoung. Remaja itu kembali meringis, pikirannya begitu sibuk akan rasa sakit, seakan bingung rasa sakit mana yang harus diobati duluan. Doyoung sendiri tidak tau harus berbuat apa, tenaganya tersedot habis, oksigen seakan tak sudi menyapa paru-parunya, dan nyeri semakin menjalar kuat tak ingin kalah di persendiannya.
"Yah, bukannya harusnya ayah sudah tau jawabannya? Aku hanya butuh uang untuk makan! Kalau aku bisa memilih takdir, aku akan memilih untuk tidak akan pernah terlahir"
Tak berselang lama, Doyoung benar-benar lelah dengan setiap rasa sakit yang malam ini tengah menyiksanya. Mata sendu itu juga sudah menampilkan binar kesakitannya, hingga akhirnya memilih untuk terpejam. Entah sampai kapan, tapi malam ini Doyoung ingin istirahat sebentar meski hanya di atas lantai tak beralas.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fate •• Kim Doyoung [END]
FanficTakdir adalah hal yang tak akan pernah bisa dihindari meski itu menyakitkan. Bukan kemauannya ketika ia dilahirkan dengan segala kekurangan itu. Bukan kemauannya agar setiap detik kejadian itu menjadi detik yang paling menyakitkan. Mereka mungkin ti...