1. Paranoid

141 15 12
                                    

Lonceng sekolah berbunyi kencang. Diikuti dengan teriakan tukang bersih-bersih sekolah yang kebetulan lewat meneriakan, "Pulang.. Pulang! Pulang.. Pulang!" Dengan nada yang sama saat membangunkan orang sahur. Sontak siapa pun yang mendengarnya tentu tertawa. Tidak terkecuali Byeolin. Meski dirinya hanya tertawa kecil dengan cengirannya.

Guru yang masih menulis di papan tulis pun terpaksa menghentikan kegiatannya dan membubarkan kelas yang sudah ricuh minta dibebaskan. Namun di saat semua orang sudah berkaburan keluar kelas, Byeolin masih duduk di kursi merapikan beberapa barang yang baru dia masukkan. Ini kebiasaan. Jika gurunya belum bilang 'kelas sampai di sini', maka Byeolin tidak akan memasukkan bukunya. 

Karena kebiasaan itulah, dia mendapat gelar anak rajin, baik dari teman-temannya ataupun guru. Bahkan ada yang bilang dia pintar juga. Padahal dia masih jauh dari Albert Einstein. Standar pintar ala Byeolin itu jika bukan Einstein, maka Bill Gates.

Selesai memasukkan semua barangnya, Byeolin menatap seseorang yang duduk di sebelahnya. Masih tertidur nyenyak sampai tidak sadar kelas sudah bubar. Bukan hal aneh lagi bagi Byeolin melihat pemandangan ini. Temannya itu memang selalu tidur saat di kelas. Tidak ada takutnya sama sekali meski sudah ditegur sekalipun. Setiap guru sampai lelah mengomelinya.

"Yumi-ya, irona." Bangunkan Byeolin. Sedikit mengguncangkan tubuh temannya itu. Byeolin heran, kenapa ada orang yang bisa tidur senyenyak ini di kelas yang ramai dengan guru mengawasi. Tidak hanya itu, mereka juga duduk di kursi paling depan. Byeolin yang selalu mengantuk saja, tidak berani.

"Irona! Ini sudah pulang. Kau tidak mau dikunci lagi kan?" Ucapnya sekali lagi. Mendengar kata 'dikunci', teman sekelasnya ini segera menyadarkan diri. 

Teringat saat dirinya belum mengenal Yumi. Gadis itu bercerita saat dia tidur di kelas terakhir dulu. Tapi karena tidak ada yang membangunkannya, dia pernah hampir dikunci seorang office boy karena OB tersebut tidak memeriksakan lagi keadaan kelas. Untungnya saat itu dia sudah setengah sadar saat mendengar pintu ditutup kuat. Setelah itu, Yumi selalu minta seseorang untuk membangunkannya jika dia tertidur lagi di kelas.

"Dari kapan selesai?" Tanyanya disela-sela membereskan meja dan menenteng tas dengan matanya setengah terpejam. Jadi Byeolin memutuskan untuk berjalan di sampingnya. Takut-takut Yumi kehilangan keseimbangan.

"Baru saja." Ucap Byeolin singkat.

Tidak ada lagi pembicaraan. Byeolin hanya mendengarkan Yumi mengocehkan tentang betapa mengantuk dirinya dipelajaran sejarah dan menikmati berjalanan menuju gerbang. Sesekali Byeolin menanggapi Yumi dengan balasan singkat dan juga tawa ringan. Dia memang selalu kesulitan dalam bicara. 

Terkadang apa yang ingin dia katakan, selalu dia pikirkan dulu. Namun penelaahannya terlalu lama, sampai pada akhirnya, lawan bicaranya lebih dulu memutuskan kembali bicara. Byeolin terlalu takut untuk bicara. Dia tidak mau jika ucapannya nanti menyakiti hati orang lain.

Dia selalu berpegang teguh pada sebuah peribahasa 'Mulutmu, harimaumu'. Belum lagi dengan beberapa novel yang dia baca tentang tokoh yang suka asal bicara sampai tidak sadar menyakiti lawan bicaranya. Byeolin jadi terbawa akan hal itu, hingga dia pun jadi terlalu berhati-hati.

"Byeolin-ah, kau sudah memilih kampus?" Tanya Yumi. Basa basi. Mungkin sudah kehabisan bahan ocehan.

"Sudah. Tapi belum tau jadi atau tidak."

"Jurusan apa?" Tanyanya lagi.

"Maunya Seni. Cuma.." Belum minta restu. Lanjut Byeolin dalam hati. Dia tidak bisa mengatakan jika dirinya belum meminta izin orang tuanya. Meski Yumi teman baiknya, tapi Yumi tidak tau kondisi keluarganya. Byeolin selalu tertutup akan keluarga. Orang-orang tidak akan tau seberapa keras sifat orang tuanya dalam mengambil keputusan, termasuk jurusan yang diinginkan Byeolin.

247 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang