Bab. 11

8.8K 1.6K 533
                                    

Ada kalanya kita hanya menjadi pengagum, bukan pemilik. Karena tidak semua yang kita inginkan dapat dimiliki.


Qilla Mukharrimi Aimatul


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.











Bagus memejamkan mata, seketika dia merasakan sakit di bagian kepalanya. Kepingan memori kelam yang sempat terlupa pada akhirnya kembali menyapa.

Samar-samar dia mendengar sang Ayah kembali mencaci maki dengan kata-kata sarkasme. Sejak dulu Ayahnya memang tipe Ayah yang keras, Bagus merasakan sendiri bagaimana kerasnya didikan sang Ayah.

“Bodoh! Lemah! Kamu tidak pantas berada di sini, kerjamu hanya menyusahkan. Ayah tidak merasa rugi jika kehilanganmu!”

Mata Bagus berkaca-kaca, rasanya begitu lelah jika terus menerus mendengar cacian yang keluar dari mulut ayah kandungnya sendiri.

Bagus mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Dia memberanikan diri untuk menatap ayahnya. “Semua bukan keinginanku, Yah. Kalau saja waktu bisa di putar, aku tidak ingin semua terjadi——plak!” kalimat Bagus terputus kala dia mendapat tamparan kerasa dari ayahnya. Bagus merasakan panas di bagian pipi dan perih di sudut bibirnya.

“Anak tidak berguna!  Pergi saja dan jangan membuat beban dalam hidup Ibu dan Adikmu lagi!” usir Rustam. Bagus mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

“Baik, maaf jika akulah penyebab kehancuran keluarga ini,” balas Bagus.

“Bagus!” Arum——ibu Bagus, langsung berlari untuk memeluk putranya. Wanita setengah baya itu menangis, tadinya Arum pikir Rustam tidak akan menampar Bagus tapi nyatanya salah. 

Arum melepas pelukannya, menangkupkan kedua tangan di wajah sang putra. “Ayo masuk nak, Ibu obati lukanya.” Bagus tersenyum lembut.

“Terima kasih Bu, tapi Ayah menyuruhku untuk pergi.” Arum menggeleng.

“Ibu tidak kasih izin, Bagus anak ibu, bagus putra ibu yang sangat berharga, jadi jangan pergi. Jangan dengarkan ucapan ayah kamu.” Air mata Arum meluncur dengan deras. Bagus mengangkat tangan untuk mengusap air mata yang jatuh membasahi kedua pipi Ibunya.

“Terima kasih telah merawat Bagus dalam kondisi apapun.”

“Omong kosong!” Rustam langsung menarik tangan Arum, memisahkan ibu dan anak.

“Pergi dan tidak usah kembali!” Rustam langsung menarik sang istri untuk masuk ke dalam. Arum memberontak tapi nihil. Beliau tidak mampu melawan tenaga suaminya. Bagus mengedipkan mata dan seketika air matanya menitih.

Rasanya begitu berat menerima semuanya. Tapi Bagus tetap berusaha sabar dan ikhlas atas apa yang telah menimpanya, selama ini dia telah berjuang dalam segi apapun terutama finansial.

About Time [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang