3. Buku Catatan Berwarna Biru

25 2 0
                                    

Malam itu, Aldi sedang sibuk bermain PS di kamarnya. Ia sangat serius sampai-sampai tidak mengindahkan panggilan Bi Onah di depan kamar.

"Den Aldi.." panggil Bi Onah sekali lagi, wanita paruh baya itu menunggu anak majikannya keluar dari kamar, karena sejak pulang sekolah Aldi tidak keluar dari kamarnya.

"Den Aldi, ada Bapak pulang, Den..."

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, menampilkan figur anak laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Kemeja seragamnya dibiarkan terbuka begitu saja karena memakai kaos dalam berwarna coklat didalamnya. Aldi menatap Bi Onah dengan malas. "Kenapa, Bi?"

"Den Aldi dipanggil Bapak ke bawah." Ucap Bi Onah yang setelah itu pamit pergi.

Aldi membuang napasnya kasar, seketika rahangnya mengeras. Dadanya mendadak sedikit sesak, perasaannya selalu campur aduk apabila Aldi mengingat papanya sendiri.

Setelah berdiri di depan pintu kamar beberapa menit, ia pun memutuskan untuk turun dari lantai dua rumahnya meskipun ia tidak mau bertemu dengan sosok pria dingin tersebut.

Benar saja, ketika Aldi berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air, papanya sudah berada di ruang makan, sedang mengamati putranya yang tampak acuh.

"Aldi." Ervan memanggil Aldi.

Yang dipanggil mendadak terdiam, namun akhirnya Aldi menghampiri papanya yang sedang duduk disana. "Ya."

"Duduk." Perintah papanya singkat. Aldi menatap papanya dengan malas, ia menarik satu kursi dan mendaratkan tubuhnya disana. Ia bisa menatap sosok Ervan William dengan jelas, karena Aldi duduk di kursi seberang papanya. Pria dingin itu sepertinya memang baru pulang bekerja, karena masih memakai jas dan kemeja.

"Jangan terlalu sering main kamu." Ervan menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.

Aldi membuang tatapannya dari sang papa, ia merasa panas apabila duduk satu ruangan dengan papanya.

"Dengar, Aldi?" Ervan menekankan ucapannya, ia menatap putranya itu dengan tajam.

"Ya." Jawab Aldi lagi, namun terdengar terpaksa. Aldi menunduk, merasa tidak sanggup melihat papanya yang ada di depan terlalu lama, ia menatap kakinya dibawah.

"Kalau gitu, nanti pulang sekolah kamu langsung ikut les pelajaran. Papa sudah daftarkan kamu les,"

Sontak Aldi terkejut mendengar ucapan papanya, tatapannya langsung kembali pada sosok Ervan yang masih santai menyantap makan malamnya. "Apa, les?!" Pekiknya kemudian.

"Kenapa? Gak mau?" Tanya Evan dingin. Laki-laki berkepala tiga itu menghentikan aktivitas makannya untuk melihat putranya yang kini tampak tidak suka dengan keputusannya tersebut.

Aldi terdiam, tidak berani menatap papanya. Namun tanpa Ervan tahu, kedua tangan Aldi terkepal kuat dibawah meja makan. "Kalau tinggal di rumah ini. Harus nurut sama yang punya rumah."

Lagi, Aldi tidak dapat berkata apapun di depan papanya sekarang. Ia menelan ludahnya susah payah, lalu kembali menatap sang papa yang sedang minum segelas air. "Ya." Jawabnya.

"Bagus. Saya tidak mau punya anak yang nilainya biasa-biasa saja." Ervan berujar, "Saya tahu kamu anak yang pintar, Aldi. Maka dari itu saya leskan kamu, supaya makin pintar." Lanjut Ervan kemudian.

Aldi mengangguk, meskipun dengan berat hati. Ia paham sekali kalau tinggal dengan papanya merupakan keputusan yang sulit, akan tetapi ia harus menghadapinya. Setidaknya, papa tidak melakukan hal-hal aneh pada dirinya. Aldi harus bersyukur akan hal itu.

"Kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan, kamu bilang saja pada Ali." Ucap Ervan sambil mengelap mulutnya dengan tisu. Bicara soal Ali, ia merupakan asisten pribadi Ervan. Memang, sejak Aldi tinggal dengan papanya, semua kebutuhan ataupun kegiatan yang Aldi lakukan, Ali yang mengurusnya. Termasuk mendaftarkan les untuk Aldi.

TienerlevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang