Raka masih tidak mengira bahwa kepergian ayahnya begitu cepat. Walaupun ia tahu setiap orang akan menemui ajalnya masing-masing, namun ia merasa hal itu tidak boleh terjadi pada ayahnya.
Tidak. Ayahnya tidak boleh pergi sebelum melihat Raka lulus, ayah tidak boleh pergi sebelum ia bisa berangkat sekolah sendiri membawa motor, ayah tidak boleh pergi sebelum Raka bisa sukses seperti yang ayahnya inginkan, ayah tidak boleh pergi sebelum Raka bisa membuat ayahnya bahagia. Ayah tidak boleh pergi selagi Raka masih hidup. Begitu dengan pikiran-pikiran lainnya, ayahnya tidak boleh pergi meninggalkannya.
Belum cukup mengetahui fakta bahwa ayahnya sudah tiada, terdapat fakta menyakitkan lainnya yang selama ini Raka tidak ketahui.
Ayahnya mengidap penyakit jantung kronis.
Mengapa ayah dan bunda begitu tega merahasiakan hal itu darinya?
Apa alasan ayahnya libur beberapa minggu lalu adalah untuk istirahat karena dirinya mulai sakit? Atau jangan-jangan sudah begitu parah namun dirinya tidak peka untuk menyadari bahwa ayahnya sedang berjuang melawan penyakitnya sendiri?
Jika memang iya, Raka tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Bunda bilang, ayahnya yang ingin merahasiakan hal itu pada Raka. Karena ia tidak ingin anaknya cemas dan khawatir kalau mengetahui kondisinya yang bisa pergi kapan saja. Namun bagi Raka, itu bukanlah pembenaran atas alasan ayahnya yang menyembunyikan hal pilu dari dirinya. Ia berhak tahu untuk hal tersebut.
Jika Raka tahu hal itu dari dulu, mungkin ia sudah menyuruh ayahnya berhenti bekerja. Bagaimana pula ayahnya yang jantung kronis bisa bekerja di lingkungan yang keras seperti proyek bangunan itu? Membayangkannya saja Raka sudah tidak sanggup. Pantas saja ayahnya tidak pernah marah ataupun bersedih. Mungkin kalau Jaka merasa marah dan sedih, itu akan mengancam keselamatan jantungnya.
Semenjak kepergian ayahnya, sikap Raka berubah drastis dari biasanya. Cowok berlesung pipit itu menjadi pendiam, murung, dan kehilangan semangat untuk melakukan sesuatu. Hal tersebut sangat dirasakan oleh Bintang dan Aldi yang juga ikut bersedih atas perginya Jaka. Meskipun Jaka bukan orangtua mereka, namun mereka merasakan hal yang serupa ketika tahu Jaka pergi meninggalkan Raka dan bunda selamanya.
Sore itu seharusnya Raka ikut pengayaan, akan tetapi cowok itu malah bergegas untuk pulang. Ini sudah kedua kalinya Raka bolos pengayaan. Sangat tidak mencerminkan Raka sekali, cowok itu kan rajin bukan kepalang.
"Mau cabut lagi, lo?" Sergah Aldi yang saat itu menghalangi langkahnya untuk keluar kelas. Aldi mengerti perasaan Raka, namun tidak seharusnya cowok itu terus bolos pengayaan. Ujian Nasional tinggal menghitung hari, tapi Raka bukannya bersemangat belajar malah kabur.
"Minggir," tolak Raka dingin.
"Gue tahu lo pinter. Tapi tolonglah, minggu depan kita UN, masa lo mau kabur-kaburan gini terus?"
"Biarin aja, Di." Ucap Bintang yang baru datang dari luar, cewek itu menatap Raka datar. Lalu mengajak Aldi untuk kembali duduk.
Tadinya Aldi ingin marah, namun ia urungkan niatnya. Akhirnya Aldi menurut.
Setelah perdebatan cukup sengit itu Raka langsung keluar tanpa mengatakan apa-apa. Membuat Aldi dan Bintang menggelengkan kepala, kalau bundanya tahu Raka suka kabur pengayaan begini, pasti bunda akan marah.
***
Keesokan harinya, Raka tetap melakukan hal yang sama. Cowok itu langsung pulang ketika mendengar bel jam pelajaran terakhir. Namun kali ini Aldi dan Bintang tampak tidak memperdulikannya. Karena mereka berencana untuk mendatangi Raka ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tienerleven
Teen FictionBintang, Raka dan Aldi sudah bersahabat sejak SMP. Awalnya, persahabatan mereka baik-baik saja. sampai pada akhirnya mereka mulai menyadari bahwa kehidupan remaja tidak semudah dan seseru yang mereka bayangkan. Banyak luka, tangis, dan juga rahasi...