Massachusetts, Amerika Serikat
Kegelapan menyeruak di seisi ruangan. Gorden jendela pun masih menjuntai menutupi jendela. Hanya ada kesepian dan kesunyian yang menemaninya. Jam beker berbunyi tepat pukul 07.00 a.m.
Dengan jengah, tangannya menelusuri meja sementara matanya masih tertutup rapat. Bunyi jam beker sudah tidak terdengar lagi dan perlahan ia berusaha mengalahkan keinginan terdalamnya untuk tetap terlelap dalam tidurnya.
Bermodalkan tekad yang kuat, ia berhasil mengangkat kedua kelopak matanya walau masih belum terbuka sepenuhnya. Matanya menyipit untuk melihat layar ponselnya, pandangannya tertuju pada pengingat yang sudah ia atur di kalendernya. Ponselnya ia taruh kembali, kemudian bergegas untuk pergi ke kamar mandi.
Tatapannya tertuju pada kaca yang menggantung di kamar mandinya. Ia menatap lekat wajahnya dan diakhiri dengan hembusan kasar nafasnya. Tangannya beralih mencari sikat gigi, kemudian memutar-mutarkan di dalam mulutnya dengan ritme yang sangat lambat.
Kesadarannya sudah kembali sepenuhnya. Kakinya melangkah menuju jendela sementara tangannya berusaha menggapai gorden yang menghalangi masuknya sinar mentari. “Ini masih pagi sekali,” gumamnya seraya membuka gorden. Ia memandang jauh ke luar sana, kepalanya berpikir keras. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil kembali ponselnya dan mulai menguhubungi seseorang.
“Halo, Jaebum-ah? Ini aku, Park Jinyoung,” ujarnya sesaat setelah panggilannya terhubung.
“Iya, tahu. Ada apa?”
“Kau belum tidur, kan? Aku tidak mengganggumu, kan?”
“Tidak, baru jam 9 malam, kok. Di sana jam berapa?”
“Jam 7 pagi dan aku baru bangun.” Jinyoung menyeringai.
“Wah, perbedaan jamnya jauh sekali.”
“Jaebum-ah, ada sesuatu yang harus aku katakan padamu.”
“Apa? Katakan saja.” ujarnya singkat.
Jinyoung terdiam sejenak. Ia menjadi ragu untuk mengatakan sebuah kebenarannya. “Itu…jadi begini, Jaebum-ah.” Jinyoung belum berani untuk mengatakannya. Jantungnya berdegup kencang karena panik dan khawatir.
“Kenapa? Oh, sebelumnya aku ingin bertanya, Jinyoung-ah. Apa kau hanya berkabar denganku?”
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Gila, ya? Kau tahu? Setiap hari Jisoo menanti kabar darimu, aku pikir kau mengabarinya. Tadi siang, aku dicecar pertanyaan olehnya dan Suho Hyung! Aku pikir kau juga berkabar dengan Suho Hyung!”
“Kenapa harus? Terakhir kali aku mengirim pesan pada Jisoo saat masih di bandara, lagi pula aku tidak merasa ada yang harus ku katakan pada Suho Hyung, semuanya sudah jelas.”
“Park Jinyoung! Jisoo bilang kau membaca pesannya tapi kenapa tidak membalasnya? Bocah dingin ini!” Jaebum tidak bisa menahan amarahnya lagi.
“Aku tidak mau terlarut dalam hal yang menyedihkan dengannya, aku juga tidak mau dia terluka. Aku sudah melukainya saat itu, jadi lebih baik kita tidak berkabar sama sekali.”
“Lihatlah kau dan pikiranmu itu! Kau memang tidak mengerti perasaan wanita rupanya!”
Jinyoung hanya terdiam. Dia tidak mampu membela dirinya sendiri. Sekeras apa pun ia menjelaskannya, Jaebum tidak akan mengerti, karena dia-lah satu-satunya orang yang paling mengerti perihal perasaannya sendiri. Suasana hening menyelimuti keduanya, sangat berbeda 180 derajat dibandingkan dengan sebelumnya.
“Kau mendengarkanku?” Jaebum memecah ke-heningan.
“Iya. Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Kapan kau akan kembali ke Korea?”
“Itulah alasanku menelponmu, ada satu hal yang ingin aku katakan padamu terkait masalah itu.”
“Kalau begitu cepat katakan! Bukankah biaya teleponnya sangat mahal?”
“Sepertinya, aku akan tinggal lebih lama di sini.”
***
Seoul, Korea Selatan
Jaebum mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Kelakuan sahabatnya sukses membuat darahnya mendidih. Rasa frustasi menyelimuti dirinya saat ini. “Bocah gila! Bagaimana aku mengatakan ini pada Jisoo?” Jari tangannya memijit kedua pelipisnya.
Tak lama kemudian, tangannya beralih memegang ponsel. Jari-jari tangannya menari dengan lincah di atas keyboard-nya. Ibu jari tangan kanamnya terhenti beberapa detik sebelum akhirnya ia memilih untuk mengirim pesan tersebut.
Satu jam telah berlalu dengan cepat. Ia terus memeriksa ponselnya, namun tidak ada satu pesan pun yang masuk. Pikirannya kembali tak karuan. “Kim Jisoo, dia ke mana, sih?!” gerutunya, ia memutuskan untuk turun ke bawah menuju Asrama B putri.
Namun usahanya sia-sia, ia sudah terlambat, ini sudah lebih dari jam 10 malam. Pintu asrama sudah tertutup untuk umum, terkecuali bagi penghuni asrama. Jaebum berteriak kesal, tangannya kembali mengacak-acak rambutnya.
Dengan berat hati, ia balik badan dan mulai menjauhi Asrama B putri. “Jaebum-ah!” teriak Jisoo, tanpa sengaja mereka berpapasan di jalan. Ia tidak hanya melihat Jisoo, tetapi juga satu orang temannya yang saat ini sedang berjalan beriringan dengan Jisoo. Jaebum menatap gadis itu, ia membungkuk dan mengucapkan salam. Gadis itu membalas salamnya.
“Kau dari mana?” tanya Jisoo heran karena ia keluar dari kompleks asrama putri.
“Aku mencarimu,” ujarnya singkat.
“Aku? Kenapa?”
“Bisa kita bicara sebentar?” Jisoo menoleh ke arah temannya. Temannya mengangguk, mengizinkan ia untuk pergi dengan Jaebum.
“Jennie-ya, aku tidak akan lama.”
“Jangan lebih dari jam 11, ya! Asrama akan benar-benar ditutup saat itu.”
“Tenang saja,” ujarnya menenangkan. “Ayo Jaebum-ah!” Jaebum mengikutinya dan berusaha mengimbangi langkahnya.
Mereka tidak punya banyak waktu, tinggal 30 menit lagi sebelum asrama ditutup. Mereka memutuskan untuk berbicara di bangku depan asrama. “Ada apa?” Jisoo memulai obrolan dengan harap-harap cemas. Jaebum heran kenapa Jisoo tidak tahu tentang hal apa yang akan ia bicarakan.
“Kau tidak membaca pesanku?”
“Pesan?” Jisoo kebingungan, ia merogoh ponsel di dalam tasnya kemudian membaca pesan yang tertera di layar, matanya melonjak.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana."
“Kau mendapat kabar dari Jinyoung?” Jaebum mengangguk.
“Tapi ini bukan kabar baik, Jisoo-ya.”
“Apa maksudmu? Dia baik-baik saja, kan?” Detak jantungnya semakin tidak karuan, matanya mulai berkaca-kaca.
“Dia baik-baik saja, tapi…” Jaebum tidak tega untuk melanjutkan ucapannya.
“Tapi apa?!” teriaknya.
“Sepertinya, dia tidak bisa memenuhi janjinya padamu, Jisoo.”
“Janji? Janji apa?” Jisoo berharap bahwa apa yang sedang ia pikirkan saat ini tidak menjadi kenyataan.
“Ia akan lebih lama tinggal di sana. Beasiswanya diperpanjang hingga ia lulus di sana. Aku tidak tahu apakah itu menjadi program double degree atau ia akan berhenti kuliah di sini dan melanjutkan di Amerika. Yang jelas, ia tidak akan kembali untuk saat ini.”
“A-Apa?! Kau bercanda, kan?"
Jaebum tidak kuasa untuk menatap wajahnya lagi. Ia tahu jika saat ini Jisoo berusaha mati-matian agar air matanya tidak jatuh. “Ayo pulang, tinggal 15 menit lagi sebelum asrama ditutup!” Jaebum beranjak dari tempat duduknya, sementara Jisoo masih termangu, otaknya berusaha mencerna apa yang barusan ia dengar.
***
Halo semuanya^^
Lama tak bersua hehe
Selamat membaca dan jangan lupa vote ya!Terimakasih♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Architecture
FanfictionMenjadi arsitek adalah impiannya yang tak pernah berubah. Namun, seseorang terus mengunggulinya. Tetapi dia adalah Kim Jisoo, si ambisius yang pantang menyerah.