Janji

3 2 0
                                    

Layar ponselnya kembali menyala, satu panggilan masuk dari nomor telepon rumah. Tangannya dengan sigap mengangkat panggilan tersebut.

“Halo?” Ia menyapa terlebih dahulu, kemudian disambut dengan ramah oleh seseorang di sambungan teleponnya.

“Barusan ada seorang wanita yang menanyakanmu.” Jinyoung terdiam sejenak.

“Nampaknya, dia sangat mengkhawatirkanmu. Aku sempat berpikir haruskah aku jujur saja? Tapi aku mengatakan padanya kalau kau sudah ke luar asrama sejak tadi.” Ia menjelaskannya panjang lebar, Jinyoung menjawabnya singkat.

“Oh, iya. Terima kasih, Hyung.” Sambungan teleponnya terputus.

Jinyoung bergegas mengambil barang bawaannya. Suara roda koper menggema di seluruh koridor. Seorang pria yang memakai kemeja kotak-kotak merah keluar dari kamar yang berada di ujung koridor. “Jinyoung-ah?” Teriaknya. Jinyoung menoleh, pria itu menatapnya heran. “Mau ke mana?” Tanyanya seraya memegang kunci kamar di tangan kanannya.

“Aku akan pergi ke Amerika, Jackson-ah.” Jackson tidak memercayai apa yang ia dengar barusan, ia memutuskan berjalan mendekatinya dan memastikan bahwa yang ia dengar barusan adalah sebuah kebenaran.

“Apa kau bilang? Aku tidak salah dengar, kan?” Jackson mendekatkan telinganya ke wajah Jinyoung.

“Um, Iya benar.” Jinyoung menegaskan jawabannya. Jackson menjauhkan telinganya dari wajah Jinyoung.

“Kenapa mendadak sekali?”

“Tidak, kok. Aku mendaftarkan diri untuk program pertukaran pelajar ke Massachusetts, pengumumannya 6 bulan kemudian dan aku diterima.”

“Lelucon macam apa ini? Apa kau merahasiakannya dari semua orang? Tapi, kenapa? Itu hal yang baik, kan?” Serentetan pertanyaan meluncur deras dari mulutnya. Jinyoung menggeleng pelan.

“Tidak, Jaebum dan Suho Hyung tahu.”

“Lalu, bagaimana dengan teman SMA-mu? Apa dia juga tahu?”

“Sudah dulu! Aku akan ketinggalan pesawat jika terus dicecar seperti ini olehmu.” Jinyoung tidak menjawab pertanyaan terakhirnya, ia mengangkat kopernya dan menuruni tangga,  Jackson mengekorinya dari belakang.

Kamar Jinyoung berada di lantai dua, lift hanya digunakan untuk lantai 3 sampai lantai 5. Setelah menuruni tangga, pandangannya langsung tertuju ke meja resepsionis. “Kau akan pergi sekarang?” Tanya petugas resepsionis yang sedari tadi berhubungan dengannya. Jinyoung mengangguk diiringi dengan senyuman terbaiknya. “Baiklah, hati-hati.”

Jinyoung mengucapkan rasa terima kasihnya dengan tulus. Suara Jackson menyambarnya dari belakang, ia setengah berteriak. “Tunggu! Hyung juga tahu?” Tanyanya tidak percaya. “Diamlah dan cepat pergi ke kampus!” Perintahnya, Jackson bersungut-sungut dan meninggalkan asrama dengan perasaan kesal, Jinyoung yang sedari tadi mengawasinya dari belakang pun terkekeh pelan.

“Taksi!” Ujarnya seraya melambaikan tangan kanannya ke ruas jalan. Taksi berhenti tepat di hadapannya. “Tolong antar aku ke Bandara Incheon!” Ujarnya singkat, sang sopir mengangguk dan kembali menancapkan gas. Tangannya kembali menyentuh ponselnya dan melakukan panggilan kepada seseorang. Panggilannya diangkat dengan cepat.

Halo, Jaebum-ah? Aku sedang dalam perjalanan menuju ke bandara.” Jaebum berteriak, teriakannya berhasil memekakan telinga kanannya.

Kau berangkat lebih cepat rupanya.” Timpal Jaebum.

Aku harus bagaimana lagi? Ini semua gara-gara kau!” Jinyoung tak kalah menimpalinya.

Anak ini malah menyalahkanku atas perbuatannya!” Jinyoung mengakhiri perdebatan mereka berdua, Jaebum juga mengalah dan memintanya untuk berhati-hati selama di Amerika. Percakapan mereka berakhir di sana.

Pintu taksi ditutup dengan cukup keras. Suara roda koper yang diseret juga terdengar di mana-mana. Ia memasuki pintu bandara tanpa ragu. Setelah selesai mengurus segala hal di sana, Jinyoung diminta untuk menunggu sampai penerbangannya tiba. Ia memilih duduk di bangku besi panjang yang terletak di bandara. Tak lama, pengumuman di bandara membuatnya beranjak dari tempat duduknya.

Karcis yang ada di tangan kanannya ia berikan kepada petugas maskapai. Setelah memasuki pesawat, langkahnya berjalan lurus dan matanya menelusuri kabin, mencari bangku yang harus ia duduki.

Pikirannya sudah tidak karuan, ia memutuskan untuk mengerjapkan mata dan berusaha menenangkan diri. Sesaat kemudian, ia mengeluarkan ponselnya berniat untuk mematikan daya ponselnya. Namun, niatnya teralihkan oleh sebuah foto yang tertera di layar, ia memutuskan untuk mengirim pesan pada seseorang.

Jaga dirimu baik-baik. Aku akan menemuimu setahun kemudian. Dan juga, aku meminta maaf kepadamu.’ Begitulah isi pesan yang ia kirimkan. Seorang pramugari berambut pendek mendekati kursinya. “Maaf, bisakah Anda mematikan ponselnya? Penerbangan akan dilakukan sebentar lagi.” Ujarnya dengan ramah dan sopan.

Jinyoung mendongak menatap wajahnya. “Maaf. Akan saya matikan.” Tukasnya sambil tersenyum. Sekali lagi, ia memandangi wajah itu kemudian segera mematikan ponselnya sebagaimana yang diperintahkan oleh sang pramugari.

***

1 Tahun Kemudian

Hari ini sudah genap setahun sejak Jinyoung meninggalkan Korea. Sayangnya, Jinyoung seperti sedang menutup diri dari teman-temannya. Ia tidak berkirim kabar selama satu tahun, Jaebum pernah berkabar dengannya tapi hanya beberapa kali. Ya, hanya Jaebum yang sukses berkabar dengannya. Jam kuliah baru saja usai, Jisoo menyelendangkan tasnya dan berencana untuk segera pergi, namun seseorang mendatangi kursinya. “Apa Jinyoung sudah mengabarimu?” Tanya Suho. Jisoo menggeleng pelan, ia membuang kasar napasnya.

“Aku tidak menerima kabarnya satu kali pun selama setahun ini. Aku mencobanya melalui berbagai cara tapi tidak berhasil, beberapa hanya ia baca namun tidak satu pun yang ia balas.” Jisoo mengerjapkan matanya.

“Sama. Dia juga tidak pernah berkomunikasi denganku. Apa dia semarah itu padaku?” Tanya Suho sembari memiringkan kepalanya ke arah kiri. Tepat saat itu, Jaebum melintas di samping mereka.

“Hei, Jaebum-ah!” Teriak Suho, ia melambaikan tangannya dan menyuruh Jaebum untuk mendekatinya.

“Kenapa, Hyung?” Tanyanya setelah ia berada di hadapan Suho.

“Jujur, ya. Apa Jinyoung menghubungimu?” Matanya dan mata Jisoo menatap Jaebum bersamaan.

“Kami sempat berhubungan, tetapi sudah lama sekali. Aku tidak mendengar tentang kabarnya lagi setengah tahun yang lalu.”

“Apa sih yang salah dengan dia?!” Jisoo merutukinya.

“Aku juga tidak tahu, apa diantara kalian tidak ada satu pun yang berkomunikasi dengannya?”

“Kalau ada, mungkin kami tidak akan menanyaimu.” Ujar Jisoo, Jaebum tiba-tiba duduk di samping Suho.

“Apa kau dan Ryujin musuhan?” Ia menelisik Jisoo dengan tatapan tajam.

“Kenapa kami harus musuhan? Dia yang menjauhiku, aku tidak memiliki dendam apa pun padanya.”

“Luar biasa! Jinyoung memang si nomor satu. Dia berhasil membuat dua wanita tercantik di jurusan menyukainya.” Ujarnya antusias, Suho mendengus kesal.

“Bisa kau menyingkir dariku? Aku mau ke luar, nih!” Ujarnya kesal.

“Apa ini? Apa Hyung kesal?” Jaebum berdiri dan mempersilakannya untuk ke luar.

“Diam kau!” Sentak Jisoo, Jaebum mengikuti keduanya dari belakang, ia menggerutu sendiri.

Mereka bertiga memutuskan untuk berpisah di luar fakultas. Jisoo berpapasan dengan Ryujin di pelataran taman. Mereka saling memandangi satu sama lain, tetapi tidak ada satu pun yang berani berbicara. Ryujin membuang wajahnya, kemudian berjalan melewati Jisoo. Jisoo hanya diam mematung, namun detik kemudian ia memberanikan diri memanggil Ryujin. Ia menoleh, disusul oleh Jisoo sambil berlari kecil untuk menghampirinya. “Bisakah kita bicara sebentar?”

***

Halo semuanya^^
Jaga kesehatan ya

Selamat membaca♡

Dear ArchitectureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang